Kamis, 12 November 2015

MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI LOMBOK

Repost dari (situs9.blogspot.id)


situs9.blogspot.com

A.     Labuan Lombok Pusat Perdagangan
 
Sejak abad ke 13 Masehi Labuan Lombok banyak dikunjungi para pedagang yang berasal dari Palembang, Banten, Gresik dan Sulawesi. Dengan demikian agama Islam mulai merasuki Lombok. Mula-mula kedatangan mereka untuk berdagang, kemudian banyak diantara mereka yang bertempat tinggal menetap bahkan mendirikan perkampungan-perkampungan. Sampai sekarang pun masih dapat kita lihat bekas-bekasnya seperti perkampungan Bugis di Labuan Lombok. Para pendatang dengan suku Sasak mengadakan hubungan. Dalam hubungan itu timbul rasa saling hormat menghormati dan harga menghargai. Dengan sadar atau tidak sadar terjadilah ambil mengambil dan pengaruh mempengaruhi dalam berbagai bidang seperti budaya dan agama. Yang dianggap baik dan cocok diterima sedangkan yang tidak cocok ditinggalkan.
Labuan Lombok sebagai pelabuan dagang disinggahi para pelaut dan saudagar muslim dari Jawa dan mulailah timbul bandar-bandar tempat para pedagang sehingga semakin ramai. Selanjutnya melalui saluran perdagangan tersebut terbawa pula kitab-kitab kesusateraan yang bernafaskan agama Islam seperti Roman Yusuf, Serat menak. Selain itu juga, Al Qur’an terbawa oleh para pedagang untuk mengaji di tempatnya masing-masing.
Ketika berkembang pesatnya perdagangan rempah-rempah, di Bali dan Lombok sudah berkembang perdagangan sarung yang diangkut oleh kapal-kapal dari Gresik.. Menurut  Wisselius kemungkinan besar bahwa sejak abad  ke-14, pedagang-pedagang muslim telah melakukan pelayaran dan perdagangan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, Selat Madura  Pesisir Timur pulau Lombok, pulau-pulau Sunda Kecil sampai ke Maluku. Dengan demikian penyebaran agama Islam di pulau Lombok melalui perdagangan, perkawinan, dan juga melalui seni sastra, ukir, pewayangan dan lain-lain.
B.   Berkembangnya Agama Islam
 
 Agama Islam masuk di Bumi Selaparang tidak lama setelah runtuhnya kerajaan Majapahit karena pada waktu itu sudah ada pedagang-pedagang muslim yang bermukim dan berniaga di Lombok kemudian mereka menyebarkan agamanya. Bukti yang paling eksplisit menjelaskan kedatangan Islam di Lombok adalah Babat Lombok yang menjelaskan bahwa ”Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia Bagian Utara yaitu
  1. Lemboe Mangkurat dengan pasukannya dikirim ke Banjar
  2. Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, Selayar
  3. Anak Laki-Laki Raja Pangeran Perapen berlayar ke Bali, Lombok, dan Sumbawa
Menurut Faille, setelah turun dari kapal, pasukan pangeran Prapen mendarat, Raja Lombok dengan sukarela memeluk Agama Islam tetapi rakyatnya tetap menolak sehingga terjadi peperangan yang dimenangkan oleh pihak Islam. Pendapat lain menyebutkan bahwa Raja Lombok awal mulanya menolak kedatangan Islam, namun setelah Pangeran Prapen menjelaskan maksudnya yaitu untuk menyampaikan misi suci dengan cara damai maka beliaupun diterima dengan baik, tetapi karena hasutan rakyatnya kemudian Raja Lombok ingkar janji dan mempersiapkan pasukan sehingga terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu, Raja Lombok terdesak dan melarikan diri tetapi malang bagi raja yang dikejar oleh Jayalengkara lalu beliau dibawa menghadap ke Pangeran Perapen. Beliau kemudian diampuni dan mengucapkan dua kalimah syahadat serta dikhitan. Masjidpun segera dibangun sedangkan Pura, Meru, Babi, dan Sanggah dimusnahkan. Seluruh rakyat diislamkan dan dikhitan kecuali kaum wanita penghitanannya ditunda atas permintaan Syahbandar Lombok.
Setelah berhasil mengislamkan Raja Lombok, Sunan Perapen dengan pasukannya mengislamkan kedatuan-kedatuan lainnya seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak (Lombok Utara).  Hal ini memiliki bukti-bukti adanya tinggalan arkeologi seperti mesjid-mesjid tua, makam-makam kuno dan sebagainya. Dalam mengislamkan kedatuan-kedatuan lainnya, sebagiannya masuk Islam dengan sukarela sebagian lagi masuk Islam dengan cara kekerasan seperti di Parigi dan Sarwadadi. Setelah itu beberapa tahun kemudian seluruh Lombok memeluk agama Islam, kecuali Pajarakan dan Pengantap.
C.   Sunan Prapen Kembali ke Lombok
 
 Sesuai dengan misi yang diemban dari Ratu Sunan Giri, maka setelah mengislamkan kerajaan-kerajaan lainnya di pulau Lombok, maka Sunan Prapen melanjutkan penyebaran Islam ke Sumbawa, Dompu dan Bima. Sepeninggal Sunan Perapen, keadaan agama Islam di Lombok sangat menyedihkan karena kaum wanitanya menolak memeluk agama yang baru itu. Hal ini sangatlah beralasan karena masih kuatnya pengaruh agama sebelumnya dan juga adanya pengaruh dari Karang Asem di Bali sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh.
Timbulnya permasalahan ini kemudian Sunan Prapen kembali lagi dan mendarat di Lombok melalui Sugian untuk menyerang penduduk yang masih kafir. Menurut Van der Kraan,  dalam penyerangan ini penduduk Lombok terpecah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu ;
  1. Kelompok yang melarikan diri dan mengungsi ke gunung-gunung masuk hutan dikenal dengan Orang Boda,
  2. Kelompok yang takluk dan masuk Islam dikenal sebagai Waktu Lima,
  3. Kelompok yang hanya takluk di bawah kekuasaan Sunan Perapen dikenal sebagai Penganut Wetu Telu.
Rencana Sunan Perapen untuk mengislamkan Pulau Bali terpaksa ditunda karena mendapat perlawanan dari Dewa Agung Gelgel yaitu Dewa Agung Batu Renggong yang pada pertengahan abad ke-16 berusaha membendung penyebaran Agama Islam yang dilakukan oleh orang-orang Jawa dari arah barat maupun orang-orang Makasar dari arah Timur. Oleh sebab itu, pengaruh Kerajaan Gelgel di bagian barat Pulau Lombok yang besar sehingga Sunan Prapen mendarat di pantai timur (Labuan Lombok).
D.   Penyebaran Islam di Bayan
 
situs9.blogspot.com
Sekitar abad ke-16, penyebaran agama Islam juga masuk melalui pantai utara Bayan dan dari arah barat sekitar Tanjung. Pembawanya adalah seorang syekh dari Arab Saudi bernama Nurul Rasyid dengan gelar sufinya Gaoz Abdul Razak. Makamnya terletak di Kuranji di sebuah desa pantai barat daya Lombok. Gaoz Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Ia pun menetap dan berdakwah di sana mengawini Denda Bulan yang melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen.  Keturunan inilah  yang  menjadi  cikal  bakal raja-raja Selaparang. Kemudian Gaoz Abdul Razak mengawini lagi Denda Islamiyah yang melahirkan Denda Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.
Berita lain menyebutkan, Sunan pengging, pengikut Sunan Kalijaga datang ke Lombok pada tahun 1640 untuk  menyiarkanagama Islam (sufi). Ia kawin dengan putri dari kerajaan Parwa sehinggga meninmbulkan kekecewaan raja Goa. Selanjutnya, raja Goa menduduki Lombok pada tahun 1640. Sunan Pengging terkenal dengan nama Pangeran Mangkubumi lari ke Bayan. Salah satu bukti yang dapat dijadikan sebagai kajian tentang awal penyebaran agama Islam adalah Mesjid Kuno Bayan Beleq.
E.   Penyebaran Islam di Pujut
 
 Tokoh legendaris penyebar Agama Islam adalah Wali Nyatok. Dalam tradisi lisan Wali Nyatok dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Lombok Bagian Selatan dan sekitarnya. Nama lain Wali Nyatok adalah Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman.   Sayang   sekali  pada  batu  nisannya  tidak  ada inskripsi yang menyebut nama tokoh meskipun dari segi tipologi tergolong tua. Mesjid di Rembitan sering dikaitkan dengan tokoh Wali Nyatok. Salah satu bukti yang paling konkrit adalah Masjid kuno Rembitan. Bangunan ini merupakan prototipe mesjid-mesjid tua. Secara kronologis diperkirakan sekitar abad ke 16.
Salah satu penyebar Islam di Lombok Selatan adalah Pangeran sangupati. Pangeran Sangupati adalah putra Selaparang yang dianggap Waliyullah, ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Pendapat lain menyebutkan bahwa Pangeran Sangupati berasal dari Jawa yang sengaja berkelana untuk menyebarkan Agama Islam dan memiliki nama asli di Jawa yaitu Aji Datu Semu, sedangkan, di Sumbawa dikenal dengan nama Tuan Semeru.
Pendapat lain menyebutkan Pangeran Sangupati adalah tokoh agama Hindu yang menyebarkan agama Hindu di kalangan ummat Islam karena Islam yang dianut oleh para penduduk masih sangat lemah, maka beliau menyebarkan agama Islam Waktu Telu (Wetu Telu) suatu bentuk peralihan dari agama Boda tua ke agama Waktu Lima dan dia dikenal dengan nama Pedanda Wau Rauh.
Selain tokoh-tokoh tersebut ada juga yang disebut-sebut sebagai penyebar Agama Islam di Lombok.

PENYEBARAN ISLAM DI ABAD 16 DI PULAU LOMBOK 
 
sekitar abad ke-16. Inilah saat di mana Islam diyakini untuk kali pertama masuk lalu menyebar ke seluruh pulau ini hingga ke Pulau Sumbawa.

situs9

Ada beberapa versi yang menyebutkan bermulanya penyebaran Islam di Lombok, salah satunya adalah melalui Bayan, sebelah utara pulau ini. Selain di Bayan, penyebaran agama Islam juga diyakini berawal dari Pujut dan Rembitan di Lombok Tengah. Masjid kuno yang terdapat di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu bukti tentang penyebaran Islam dari wilayah itu.

Menurut beberapa catatan, penyebaran agama Islam melalui Bayan dila kukan oleh Sunan Prapen, keturunan dari salah seorang Wali Songo— penyebar agama Islam di Ja wa—yakni Sunan Giri. Namun, tak diketahui persis mengapa Bayan menjadi tujuan pertama Sunan Prapen.

Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni Sunan Prapen melakukan pelayaran dalam upaya penyebaran Islam ke wilayah timur nusantara dari Gresik lewat pantai utara Jawa. Dia tidak berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke Bayan. Dari letak geografisnya, Bayan berada di tepi pantai utara Lombok sehingga sangat mungkin Sunan Prapen melempar sauh di sini. Belakangan, Sunan Prapen diperkirakan barulah ke Pulau Bali (meski misinya gagal) setelah dari Sumbawa dan Bima.

“Di setiap pantai, penyebaran itu memang ada. Penyebaran dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan datangnya dari Jawa,” kata budayawan setempat, Ahmad JD, kepada Republika, tentang asal muasal penyebaran Islam di Lombok melalui pantai utara. “Yang monumental adalah peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa. Ini menunjukkan adanya jejak wali dari Jawa, yakni Sunan Prapen,” lanjutnya.

Anggun Zamzani (2009) dalam penelitiannya mengenai “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Abad XVI-XVIII” menemukan bahwa agama Islam masuk ke Pulau Lombok pada abad XVI melalui misi yang dipimpin oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Lombok dapat dilihat dari adanya peninggalan masjid kuno yang ada di Bayan, Lombok Utara, yang disebut dengan Masjid Bayan Beleq dan masjid kuno yang ada di Pujut dan Rembitan Lombok Tengah. Selain itu, juga terdapat makam raja-raja Selaparang yang ada di Lombok Timur.

Selain bukti arkeologi, Anggun juga menemukan bukti lain, yakni dalam bidang seni sastra, baik itu seni tabuh, seni suara, maupun seni tulisan. Dalam penelitian ini juga me nun jukkan bahwa agama Islam da pat ber kembang di Lombok, selain karena peranan para penyebar agama Islam seperti Sunan Prapen, juga adanya peranan dari rajaraja yang ada di Lom bok sendiri. Pada perkembang an selanjutnya, agama Islam berkembang di Lombok lebih diprakarsai oleh adanya Tuan Guru.

Dua versi
Dari literatur yang tersedia, penyebaran agama Islam di Lombok disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi Selatan) dan Bima. “Memang ada dua versi mengenai masuknya penyebaran agama Islam di Pulau Lombok. Versi pertama mengatakan datang dari Jawa, sementara versi satunya lagi yakni dari Sulawesi atau Makassar,” kata Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah. “Juga banyak versi tentang masuknya abad ke berapa,” tambahnya.

Menurut Akhyar, penyebaran yang datang dari Jawa dibawa oleh Sunan Pengging (nama lain Sunan Prapen) sekitar abad ke-14. Pada saat itu, Sunan Prapen bersama para pengikutnya berlabuh di Labuhan Carik, dekat Bayan, Lombok Utara. “Menurut sejarah yang saya temukan, Sunan Pengging memang pertama kali menginjakkan kakinya di Bayan untuk menyebarluaskan ajaran Islam,” jelasnya.

Jejak yang seakan membenarkan mula penyebaran Islam di Lombok melalui Bayan adalah terbentuknya komunitas/masyarakat adat Islam wetu telu di sana. Ini adalah komunitas Islam tua yang sampai sekarang masih ada di Lombok dengan pusatnya di Bayan. Mereka menjalani ajaran Islam dengan tidak meninggalkan ritual adat leluhurnya.

Selain terbentuknya komunitas wetu telu, menurut Akhyar, masjid kuno yang sampai sekarang masih berdiri di Bayan adalah bukti lain mengenai penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui Bayan. Setelah menemukan lokasi yang tepat, Sunan Prapen mendirikan masjid di sana sebagai pusat syiarnya dalam mengislamkan penduduk setempat sebelum menyebar ke seluruh Lombok.

Dari Bayanlah kemudian penyebaran itu menuju ke sebelah barat, tengah, serta timur. Jejaknya adalah terdapatnya komunitas wetu telu di wilayah-wilayah tersebut. Di Lombok Barat, mereka ada di Narmada dan Sekotong. Di Lombok Tengah, komunitas ini ada di Pegadang, Pujut, dan Rambitan. Sedangkan, di Lombok Timur tidak begitu banyak.

Tidak banyaknya komunitas wetu telu di Lombok Timur terjawab dengan versi penyebaran Islam melalui Sulawesi. Penyebaran ini dibawa oleh para pedagang dan nelayan Sulawesi Selatan melalui Labuhan Kayangan, Lombok Timur pada abad ke-14. Jejaknya adalah banyaknya komunitas nenek moyangnya berasal dari Makassar di sepanjang pantai di Lombok Timur. “Mereka lebih dikenal dengan sebutan Islam Suni. Ada juga yang menyebutnya wetu lima,” kata Akhyar, yang menulis buku Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak pada 2008.

Diperkirakan pengaruh Sunan Prapen di Lombok Timur tidak besar karena sudah ada penyebar agama Islam dari para pedagang dan nelayan Makassar tersebut. Diduga, Sunan Pra penatau pengikutnya meninggal kan la dang dakwah yang sudah dimasuki oleh para pedagang dan nelayan itu. Dalam sejumlah catatan, Sunan Pra penmemang disebutkan tidak begitu lama menetap di Lombok, dia kemudian menyerahkan tugas penyebar an Islam di pulau ini kepada dua orang kepercayaannya, Raden Sumu liya dan Raden Salut. Setelah itu, Sunan Pra pen menuju Pulau Sum bawa dan Bima.

Namun, Akhyar punya analisis tersendiri. Ada yang bilang dia ke Sumbawa, ada juga yang bilang dia kembali ke Jawa. Setelah saya lacak yang di Pulau Sumbawa ini banyak jejak kerajaan dari Makassar. Menurut saya, Sunan Prapen langsung kembali ke Jawa, tidak berlayar ke Sumbawa, ujarnya.

Setelah lima abad, Lombok dan Sum bawa yang kemudian menjadi Nusa Tenggara Barat mayoritas pendu duk nya adalah Islam. Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduknya, sekarang ini 80 persen adalah pemeluk Islam. Sisanya adalah Hindu, Budha, dan Kristen. Tentu saja Sunan Prapen, para muridnya, serta para pedagang Arab dan Makassar perannya dalam penyebaran Islam di kedua pulau ini tak bisa diabaikan.


Penyebaran Melalui Dakwah

Sebelum Islam masuk ke Lombok (juga Sumbawa), masyarakatnya adalah penganut kepercayaan pada animisme, dinamisme, dan Hindu. Masuknya agama Hindu di Lombok diyakini merupakan jejak dari kehadiran imperium Majapahit di pulau ini pada pertengahan abad ke-14.

Mengenai masuknya Islam di Lombok, beberapa catatan yang mengutip Babad Lombok menyebutkan, proses penyebaran agama Islam ini adalah usaha keras dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik yang memerintahkan raja-raja di Jawa Timur untuk menyebarkan Islam ke seluruh nusantara.

Sampailah kemudian Sunan Prapen di Lombok dalam misi penyebaran agama Islam. Ia dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut. Dengan kekuatan senjata disebutkan, Sunan Prapen mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang merupakan warisan Majapahit, lalu mengislamkan masyarakatnya.

Namun, menurut Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah, penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui dakwah bukan penaklukkan dengan kekuatan senjata. gYa seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Itu yang saya ketahui dari kajian-kajian saya selama ini, katanya.

ISLAM DAN IMAN, APA BEDANYA?

oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan :
Apa definisi Iman itu dan apa perbedaannya antara Iman dan Islam ?

Jawab :
Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyari'atkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat.

Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh 'Alaihis sallam berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa 'Alaihis sallam, yang dibawa oleh Isa 'Alaihis sallam dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim 'Alaihis sallam, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syari'at-syari'at terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Sedangkan Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.

Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa 'Alaihis sallam, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa 'Alaihis sallam. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan jadi orang muslim lagi.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana Dienul Islam.

Bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Ta'ala berfirman. 

"Artinya : Sesungguhnya Dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam". (Ali-Imran : 19)
"Artinya : Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya". (Ali-Imran : 85)

Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya. Allah berfirman.

"Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu". (Al-Maidah : 3)

Ini adalah nash yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka.

Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan syari'at-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zhahir maupun batin. Maka ia mencakup seluruh aspek ; aqidah, amalan maupun perkataan. Namun jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zhahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman adalah amalan batiniah yang berupa aqidah dan amal-amalan hati.
Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Ta'ala.:

"Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata : 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka) : 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu". (Al-Hujurat : 14) 

Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri". (Adz-Dzariyat : 35-36) 

Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zhahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai Islam dan Iman. Maka beliau menjawab : "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah". Mengenai Iman beliau menjawab : "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari AKhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk".

Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun jika istilah Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zhahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa i'tiqad-i'tiqad dan amalan hati.

Rabu, 11 November 2015

NAHDLATUL WATHAN DAN PEMBANGUNAN SOSIAL-KEAGAMAAN DI NUSA TENGGARA BARAT



Oleh:
Fahrurrozi
Lalu Muhammad Iqbal
Email: iqbalmoerado@yahoo.com


ABSTRAK
Nama Nahdlatul Wathan secara filosofis semakna dengan; pergerakan kebangsaan, pembangunan tanah air, pembelaan terhadap nasionalisme, pergumulan sosial, perkumpulan primordialisme. Pendiri NW, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki semangat nasionalisme yang kuat dalam pembangunan bangsa dan negara. Guru besarnya di Madrasah As-Shoulatiyyah yang bernama Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Masyyath pernah memberikan nama organisasi yang diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan; Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan, namun kecerdasan dan kebesaran jiwanya memutuskan nama Nahdlatul Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam wilayah yang sangat universal, bukan saja aspek agama tapi meliputi negara dan semangat kebangsaan. Usia NW yang 79 tahun telah mengalami metamorfose sejarah panjang melewati 4 zaman (zaman penjajahan, orde lama, orde baru dan era reformasi), membuktikan bahwa Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang memiliki semangat besar untuk terus berjuang di tengah zaman dan masyarakat yang berubah-ubah.

Key words :
                          Nahdlatul Wathan, Pembangunan, Sosial-Keagamaan, Gerakan,Pengembangan, Kontribusi, Peran, Eksistensi.
 




PROLOG
Ralp Dahrendorf mengatakan, bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.[1] Teori ini nampaknya tepat untuk digunakan dalam memahami perkembangan organisasi di Nusa Tenggara Barat, dimana setting sosial masyarakatnya secara kultur dan agama sangat pluralistik dan kompleks, sehingga masyarakat yang berada dalam komunitas etnis, kultur, dan agama bahkan organisasi masyarakat (ormas)[2] yang beragam itu harus mendapatkan sosialisasi berkesinambungan tentang arti keragaman dalam keberagamaan. Upaya ini menjadi penting sebagai modal untuk menciptakan keharmonisan dalam semua aspek kehidupan majemuk.
Ada dua bentuk pengkajian yang dilakukan oleh para penyelidik kesejarahan Islam Indonesia yang dapat dilihat. Pertama, menampilkan bentuk kajian menyeluruh dengan melihat semua organisasi yang ada sebagai suatu kesatuan. Masing-masing organisasi tidak dilihat secara tersendiri, melainkan diamati dalam kegiatan dan keterkaitannya dengan organisasi lain, lalu dihubungkan dengan keterlibatan mereka dalam pergerakan keagamaan di Indonesia. Kedua, menampilkan secara terpisah. Peran dan perkembangan masing-masing organisasi dari segi satu persatu dan mendalam, sehingga sosok masing-masingnya nampak lebih utuh. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kegiatan dalam bentuk kedua semakin banyak dilakukan, tidak hanya untuk kalangan modernis, tetapi juga telah menjamah organisasi-organisasi kelompok tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan di NTB dan lain sebagainya.
Tulisan ini mengetengahkan sisi-sisi pembangunan sosial keagamaan yang telah dilaksanakan oleh Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak dalam tiga ranah penting: Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah.

A.  FILOSOFIS NAHDLATUL WATHAN DALAM PERSPEKTIF
            Catatan Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Massyath tentang penamaan organisasi yang diusulkan oleh TGH.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dengan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan.dapat dijadikan pijakan bahwa relasi antara agama dan negara dalam konteks ini bersifat integral dan simbiosis mutualisme. Artinya, negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis moral untuk menegakkan berdirinya suatu institusi negara. Sementara agama tidak akan berfungsi maksimal tanpa ada dukungan dari negara. Jadi agama mengisi preferensi nilai-nilai normatif dari sebuah negara.
            Organsasi Nahdlatul Wathan (selanjutnya disebut NW) secara embrional berasal dari Madrasah NW Diniyyah Islamiyyah (NWDI) dan Madrasah Nadlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) didirikan dalam suasana dan kondisi sosio-historis yang heroik, baik dalam konteks penegakan agama Islam maupun kebangsaan. Kelahiran organisasi tersebut sekaligus memberi respon terhadap konteks sosio-historis masyarakat pada masa itu. Heroisme dalam aspek penegakan agama Islam tercermin dari upaya yang secara simultan diikuti dengan keyakinan dan keikhlasan untuk memperbaiki pemahaman dan cara keberagamaan. Tujuannya jelas, yakni agar nilai-nilai, praktek, dan budaya Islam dapat dihayati dan diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan heroisme dalam aspek kebangsaan terrefleksikan dari upaya pembebasan masyarakat dari kebodohan dan ketertindasan melalui pendidikan sebagai bekal untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
            Atas dasar inilah, maka orientasi NW  bertumpu pada upaya-upaya untuk memadukan dan mensinergikan antara agama dan negara. Menurut TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, penyebutan istilah NW mengandung dua makna filosofis sekaligus, yakni membangun negara dan agama. Artinya bahwa agama dan negara diposisikan sama dalam satu tarikan nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara, begitu juga sebaliknya.
            Namun untuk dapat mencapai makna filosofis ini, paling tidak terdapat lima kesadaran yang direfleksikan dari kata Nahdlatul Wathan, yaitu, 1) Wa’yu al-Din yaitu kesadaran beragama, 2).Wa’yu al-Ilmi, yaitu kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, 3) Wa’yu al-Nidham, yaitu, kesadaran berorganisasi, 4),Wa’yu al-Ijtima’, yaitu, kesadaran sosial kemasyarakatan, dan 5),Wa’yu al-Wathan, yaitu kesadaran berbangsa dan bernegara.[3] 

B. SEJARAH PENAMAAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN
Kajian tentang Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap peran dan perkembangan organisasi-organisasi keislaman yang ada di Indonesia itu sendiri, terutama pada abad ke-20.[4] Kajian ini merupakan studi yang amat diperlukan, bila kita memang bermaksud untuk menampilkan sosok Islam dalam wajah yang lebih komprehensif, mengingat pada abad dua puluhlah umat Islam di kawasan Indonesia mulai bergerak dalam skala nasional dan berkelompok dalam berbagai organisasi modern keagamaan.[5] Dalam aspek kesejarahan antara organisasi NW dan Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut NU) terdapat kesamaan prinsip sejak para tokoh pendiri organisasi Islam ini dibentuk. Secara organisatoris hal ini dimulai ketika para tokoh pesantren, Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama NW pada 1916 di Surabaya. Staf pengajar NW didominasi oleh ulama pesantren, seperti Bisri Syansyuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah Ubaid (1899-1938). Pada 1918, Wahab Hasbullah dan KH.Ahmad Dahlan dari Kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan yang mempertemukan kelompok pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy'ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang bernama Nahdlatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya saling pengertian antara kelompok Islam pesantren dan modernis berubah menjadi persaingan yang mengelompok.[6]
Aspek penamaan organisasi yang muncul di NTB secara historis terdapat kesamaan nama dengan organisasi yang didirikan oleh para pendiri organisasi NU, klaimisasi ini dalam pengamatan penulis perlu penelusuran lebih lanjut antara NU dan NW dalam segala aspek, sehingga dengan demikian dapat diperoleh keabsahan data tentang hubungan atau integrasi organisasi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang secara nasional telah membentuk kepengurusan di seluruh Indonesia dengan organisasi NW yang berpusat di NTB yang secara kultural berdiri berdasarkan tuntunan zaman di mana pendirinya berada.
Disadari betapa persoalan-persoalan organisasi makin hari cenderung makin ruwet, khususnya persoalan manusianya itu sendiri yang acapkali berlanjut menjadi tantangan pokok yang harus dihadapi oleh setiap prangkat manajemen. Seyogyanya individu-individu yang berlaku dalam organisasi dengan berbagai motif dan keinginan-keinginan yang hendak dicapainya harus dipahami secara luas dan mendalam.[7]
Perlu disadari pula bahwa kehidupan berorganisasi atau berkelompok merupakan naluri manusia sejak dilahirkan. Naluri ini yang mendorong untuk selalu menyatukan hidupnya dengan orang lain dalam organisasi atau kelompok. Naluri berkelompok dan berorganisasi itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar dalam kehidupan yang lain di sekelilingnya bahkan mendorong manusia menyatu dengan alam fisiknya.
Keberadaan suatu kelompok atau organisasi dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi terapi.[8]
Upaya penciptaan kedamaian salah satu diantaranya adalah menciptakan peluang komunikasi dan dialog antar warga, antar organisasi, melalui tokoh-tokohnya, baik tokoh agama, tokoh pimpinan organisasi, maupun tokoh masyarakat atau memfasilitasi adanya pertemuan yang memungkinkan terciptanya silaturrahmi antar organisasi dan sesama warganya.
Berbagai gagasan keagamaan terbuka dikembangkan jika pemeluk agama atau penganut suatu paham keagamaan bisa bebas dari pemberhalaan identitas keagamaannya. Kesalahpahaman yang sering terjadi di kalangan penganut agama atau pengikut organisasi keagamaan seperti NU, NW, lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan identitas warga dari kedua organisasi tersebut, bukan oleh keyakinan teologis yang sama-sama sunni. Artikulasi atau pengungkapan kepentingan setiap anggota masyarakat yang empirik akan dipengaruhi oleh konseptualisasi nilai kebenaran dan kebaikan yang sesuai akar sosial budaya masing-masing organisasi. Formula kepentingan itu seringkali diperkuat, dilegitimasi dan disimbolisasi oleh identitas ke-NU-an dan ke-NW-an.[9]             Hubungan NU-NW menjadi rumit ketika mayoritas warga dari kedua gerakan ini menjadikan organisasi sebagai identitas diri, bukan sebagai wahana. Bukan kepentingan dan nilai etika Islam universal yang didahulukan, tetapi kepentingan organisasi yang mudah dimanipulasi atas nama kelompok tidak memiliki identitas, kedua gerakan itu lebih mudah bekerjasama secara mutual-simbiosis, dan akan segera bubar ketika keduanya mulai menampakkan identitas mereka masing-masing. Persoalan ini menjadi lebih kompleks ketika semua tradisi dan wilayah kehidupan social atau ritual telah dipetakan ke dalam identitas NU atau NW.
Asal usul NW dapat dilacak dari catatan sejarah pendiriannya. Nama ini pertama muncul sebagai proses bargaining (tawar menawar) antara nama Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan dengan Nahdlatul Wathan. Dua nama yang disebut pertama diusulkan oleh gurunya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath. Sementara nama NW merupakan hasil ijtihad TGH.M.Zainuddin berdasarkan background sosio-historis masyarakat pulau Lombok pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.[10]

C. NAHDLATUL WATHAN PERSPEKTIF GERAKAN KEAGAMAAN (RELIGIOUS MOVEMENT).
 
1. Pergerakan Sosial-keagamaan Pra-Kemerdekaan RI (1936-1945)
Periode ini TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membuka Pesantren al-Mujahidin, tepatnya tahun 1934 M. Pesantren al-Mujahidin awalnya adalah sebuah musalla yang didirikan oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid sebelum ia pulang ke Lombok. Sedianya mushalla ini akan dijadikan sebagai tempat mengajarkan agama seperti layaknya tuan guru-tuan guru pada umumnya saat itu.

Gerakan Perjuangan Kemerdekaan Gerakan al-Mujahidin.
Maulana Syeikh mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyyah (NWDI) 17 Agustus 1936 M dengan izin dari Pemerintah Belanda, dan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 M/22 Agustus 1937 M (NWDI) diresmikan. Ia juga mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) 15 Rabi’ul Akhir 1362 H/ 21 April 1943 M.
Pergerakan keagamaan NWDI menyebar ke seluruh wilayah Lombok sehingga dalam rentang waktu 1937-1945 telah berdiri sembilan buah  cabang madrasah NWDI.[11]
            Gerakan dua madrasah tersebut membuktikan bahwa pergerakan tanah air dimulai dari pengkaderan di madrasah yang diorientasikan menjadi anjumi nahdlatil wathan, bintang-bintang pejuang NW dan hasil dari kaderisasi tersebut terbukti dengan menyebarnya para alumni di seluruh pelosok desa yang kemudian bergerak di wilayah masing-masing sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat madarasah NWDI-NBDI tersebar di mana-mana.

2. Pergerakan Sosial-keagamaan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)
Perjalanan NWDI-NBDI dalam perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan sangatlah berat, di mana penjajahan Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia, maka konsekuensinya adalah seluruh kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh anak bangsa dipertaruhkan untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini NWDI-NBDI dan seluruh jajarannya mengambil bagian untuk membela tanah air dan membela jati diri bangsa dan agama dari tangan penjajah.
Sejarah menceritakan bagaimana para murid-murid awal NWDI berjuang mati-matian membela tanah air demi mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan tebusan jiwa dan raga. Pendiri NBDI-NWDI dan NW tampil kepermukaan untuk memimpin pertempuran melawan penjajahan yang ingin mempertahankan jajahannya di bumi pertiwi, sehingga tebusan untuk membela negara tersebut, adik kandung TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menjadi saksi atas perjuangan mereka dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, para syuhada’ yang merupakan penerus dan pelanjut NWDI antara lain, TGH. Muhammad Faishal AM, Sayyid Saleh dan Abdullah, menjadi saksi sejarah betapa berat dan kerasnya perjuangan Pendiri NWDI, NBDI dan NW mempertahankan kedaulatan RI dari tangan penjajah.  

3. Pergerakan Sosial-keagamaan di Orde Lama (1949-1965).
NW sebagai sebuah organisasi Islam yang lahir di Bumi Selaparang, membuktikan dirinya sebagai organisasi yang tetap konsisten dalam prinsip dan responsif terhadap perkembangan zaman, maka NW selalu dapat menyesuaikan diri dengan era di mana NW itu berada. Keberadaan NW di Orde Baru, jelas terjadi pasang surut atau terjadi dinamika di dalamnya, tapi secara umum NW tetap eksis mempertahankan dirinya sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah pendidikan, sosial dan dakwah, meskipun era orde lama, stabilitas politik dalam negeri masih  kurang kondusif, tapi peluang itu bisa ditangkap oleh Pendiri NW ini untuk memanfaatkan sebaik mungkin guna mempertahankan eksistensi NW dan berikut perjuangannya dalam bidang sosial keagamaan.
Tidak sedikit keberhasilan yang diraih oleh NW pada era ini dalam hal memajukan pendidikan, mensejahterakan rakyat melalui lembaga-lembaga sosial yang dibina oleh NW.  

4. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Orde Baru (1966-1998)
Peralihan orde lama ke orde baru sangat memberikan corak terhadap pergerakan organisasi Nahdlatul Wathan. Dengan bertambah usianya NW secara tidak langsung lebih matang dalam mengembang amanat umat dan lebih siap untuk berkompetisi dengan organisasi-organisasi yang lain. Era Orde Baru bagi NW dapat dikatakan sebagai era yang paling banyak melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, sosial, dakwah dan budaya, karena memang orde baru secara priodenisasi sangat lama sekitar 32 tahun. Yang pasti di era ini NW telah banyak memberikan sumbangan pembangunan untuk NTB dalam segala bidang, baik bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, pariwisata,dll.  

5. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Era Reformasi (1998-sekarang)
            Kiprah NW tidak berhenti dengan meninggalnya pendiri NWDI, NBDI dan NW  pada tahun 1997 M. NW pasca pendiri adalah era baru bagi masyarakat dan jamaah NW karena di masa itulah terjadi transisi kepemimpinan yang berimplikasi pada perubahan situasi yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Pada era ini terjadi konflik internal yang memecah kepengurusan NW ke dalam dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW Anjani yang diawali dari muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah. Di era reformasi, NW menemukan momentumnya dimana pejabat-pejabat publik strategis baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh kade-kader NW. Di era inilah dakwah NW lebih berkembang dengan intensitas peran yang lebih luas di sektor sosial dan politik.  

D. NAHDLATUL WATHAN DALAM DIMENSI GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (SOCIAL AND RELIGIOUS MOVEMENT)

NW memiliki peran penting di dalam mendorong terjadinya perubahan keagamaan masyarakat Islam, dari Islam Sinkretis seperti Wetu telu menuju Islam Paripurna (Islam Kaffah). Hal ini NW menempuh tiga mekanisme dakwah untuk bisa merubah pemahaman dan praktek keberagamaan masyarakat Islam NTB:

Pertama, Melalui Pendidikan Kemadrasahan dan Gerakan Kemasjidan
            Gelar yang melekat pada pendiri NW dengan sebutan Abu al-Mâdaris wa al-Masâjid, Menunjukkan bahwa peran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul madjid dalam membangun sarana ibadah di pelosok-pelosok kampung sangat besar. Sebab semangat keberagamaan masyarakat tidak akan terbina tanpa ada bimbingan dari para tokoh yang mereka jadikan sebagai panutan. Tercatat dalam agenda kerja TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid bahwa masjid yang beliau bangun bersama masyarakat lebih dari seribu masjid yang beliau langsung meletakkan batu pertamanya.[12] Ini artinya organisasi NW telah berkiprah dalam mengembangkan semangat keberagamaan melalui sentral kegiatan keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat yang lazim disebut masjid, di mana masjid sebagai icon suatu masyarakat dalam segala riualitas keagamaan bahkan sosial. [13]

Kedua, pengajaran keagamaan dengan mengadakan dakwah keliling yang lazim disebut oleh warga NW dengan Majelis dakwah Hamzanwadi dan majelis ta’lim NW. Majlis Dakwah Hamzanwadi yang langsung dibawah asuhan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid, telah menyebar ke seluruh polosok Bumi Gora NTB, sehingga tidak sedikit di mana ada majelis dakwah Hamzanwadi di situ berdiri lembaga pendidikan dari tingkat yang paling dasar bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan majelis ta’lim NW merupakan wahana kaderisasi yang dilakukan oleh seluruh abituren atau alumni NW yang secara keahlian telah mampu mengemban amanat organisasi NW yang secara spesifik telah dikader lansung oleh pendiri NW TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Dengan adanya dua majlis NW ini telah membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi yang sangat intent membangun sumber daya manusia yang siap membangun NTB khususnya dan Indonesia secara umum.

Ketiga, Gerakan Penyebaran Kader-kader NW ke Pelosok Nusantara.
Kaderisasi yang dilakukan oleh pendiri NW selama ini sangat efektif dan strategis, sebab kader yang diorientasikan menjadi Anjumi Nahdlatil Wathan, bintang-bintang pergerakan tanah air telah banyak berkiprah di pelosok nusantara ini.
Kaderisasi utama yang dilakukan oleh pendiri NW ini adalah melalui pendidikan, khususnya Pendidikan yang dibina langsung oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yaitu Ma’had Darul Qur’an wa al-Hadist al-Majidiyyah Assyafiiyyah (MDQH) yang secara khusus mengadopsi sistem kuliah ala Madrasah as-Shaulatiyah Makkah al-Mukarramah. Dengan sistem ini dapat melahirkan ratusan alumni yang setiap tahun di lepas oleh Pendiri NW dan pelanjutnya, untuk disebar ke berbagai daerah. Sehingga dengan sistem ini NW telah berkembang di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Pulau Jawa, Jaya Pura, dan lain-lain. Ini tidak terlepas dari peran alumni Ma’had yang telah dikader oleh Pendiri NW untuk menyebarkan misi Izzil Islam wa al-Muslimin.
Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi Nahdlatul Wathan:
Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.
Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan lainnya.
Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan Nahdlatul Wathan.[14]
NW sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaharuan sistem keagamaan di NTB.

E.  NAHDLATUL WATHAN DALAM RANAH PEMBANGUNAN SUMBER DAYA  
     MANUSIA  (HUMAN RESOURCES DEVELOPMENT) MELALUI GERAKAN 
     PESANTREN

NW adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada bidang pendidikan, sosial, dan dakwah islamiyah. Inti perjuangannya adalah berupaya mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Perjuangan ini menjadi sangat strategis, karena pembangunan di bidang SDM dapat terefleksi dalam bidang-bidang pembangunan lainnya. Artinya, Kesuksesan di bidang-bidang pembangunan sangat bergantng pada kualitas sumber daya manusia.[15]
Sebagai gambaran awal peran NWDI-NBDI yang disebut oleh pendirinya, Dwi Tunggal Pantang Tanggal,[16] dalam mencetak SDM yang kemudian hari nanti menjadi motor penggerak pembangunan sosial keagamaan di wilayah NTB ini. Out put dari madrasah NWDI pada priode awal menjadi pelanjut dan pengembang dari visi, misi dan perjuangan pendiri NWDI-NBDI yang nantinya dua madrasah tersebut menjadi embrio lahirnya Organisasi Nahdlatul Wathan.
Untuk sekedar menyebut tokoh-tokoh agama yang telah berkiprah banyak  dalam pembangunan di NTB yang merupakan produk madrasah paling awal di NTB ini.
Secara periodenisasi dari tahun ke tahun, TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid memberikan peranan penting dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai berikut:
Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI tahun 1934-an antara lain TGH. Mu’thi Musthafa pendiri pondok pesantren al-Mujahidin Manben Lauq  Lombok Timur, Ust Mas’ud Kelayu, Abu Mu’minin, sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang terkenal antara lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren Darul Muhajirin Praya, TGH. L. Muhammad Faishal Pendiri Pondok Pesantren Manhal al-Ulum, Praya, merupakan satu-satunya murid beliau yang diberi tugas dan amanat untuk menjadi ketua NU di Lombok, sehingga NU masuk ke Lombok tidak terlepas dari peranan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, Muhaddits Abdul Haris, Rais, Amrillah, Salim, Abdurrahman, Nursam, Abdul Samad, kemudian alumni-alumni ini mendirikan madrasah pertama di Praya, madrasah Nurul Yakin, pada tahun 1943, di mana pengelolanya dipimpin oleh TGH. Muadz Abdul Halim dan Pembinanya TGH. Najamuddin Makmun, berikutnya Raden Tuan Sakra Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Sakra, Ust Yusi Muhsin dan angkatan ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh Ponpes Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan berikutnya sekitar 1950-1955 Yaitu Syeikh M. Adnan kini menjadi syeikh di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, juga TGH. Zainal Abidin Ali, pendiri pondok Pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.[17]
Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an terkenal pada era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok pesantren al-Mukhtariyah Mamben, TGH. M.Zainuddin Mansyur, MA. TGH. Zaini Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra Pendiri Ponpes Manbaul Bayan Sakra, Sedangkan angkatan keenam sekitar tahun 1960-65-an  TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc  pendiri Ponpes Dar al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri Ponpes Islahul Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin Ahmad, pendiri Ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri Ponpes Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri Ponpes Nurul Haramain NW Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri Ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang dan lain-lain.
Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir dari angkatan terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dan sekaligus kader-kader ini dijadikan sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus sebagai penerus pasca meninggalnya Syeikh Zainuddin pada tahun 1997 antara lain, TGH. Mustamiudin Ibrahim pendiri Ponpes Suralaga, TGH. Habib Thanthawi, pendiri Ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin, Pendiri Ponpes Islahul Ummah NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M. Ruslan Zain An Nahdli pendiri Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri Ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada, TGH. Tajuddin Ahmad pendiri Ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L. Anas Hasyri pendiri Ponpes Darul Abror NW Gunung Raja’ Rensing, TGH. M.Yusuf Ma’mun pendiri Ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi Najamuddin pendiri Ponpes Raudlatutthalibin Pao’Motong Masbagik, TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri Ponpes Unwanul Falah Pao’ Lombok dan ratusan pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan oleh alumnus-alumnus pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M. Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun dalam hitungan Hijriyah dan 98 tahun dalam hitungan masehi[18]
Rintisan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid  dengan orientasi baru, muncul TGH. Musthafa Khalidi dan TGH. Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok Pesantren Al-Islahuddiny Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren inilah yang kemudian mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid Pancor Lombok Timur. Pondok Pesantren ini merupakan pesantren pertama yang mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya.
            Potret ini menggambarkan bahwa kontribusi organisasi NW di bawah komando TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah secara langsung memberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia NTB yang tidak sedikit dari alumni-alumni NW telah berkiprah banyak dalam pembangunan bangsa dan negara.
            Gerakan Pondok Pesantren dalam mengembangkan semangat sosial keberagamaan di NTB tercermin dalam banyaknya Pondok Pesantren NW yang berkiprah bukan saja pada aspek pendidikan saja tapi bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Data Pondok Pesantren yang ada di Lombok NTB dengan komposisi, Pondok Pesantren di Kota Mataram berjumlah, 22 buah, Lombok Barat, 77 buah, Lombok Tengah 80 buah, Lombok Timur 114 buah.[19] Secara kuantitatif  pondok pesantren tersebut berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Wathan. Ini artinya separuh dari lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan di NTB didominasi oleh Organisasi NW yang secara otomatis lembaga tersebut berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan, sosial dan kemasyarakatan di NTB

F. NAHDLATUL WATHAN DAN INOVASI-INOVASI BARU DALAM RANAH SOSIAL 
    KEAGAMAAN
           
            Dalam kaidah ushul fiqh, dan menjadi spirit dalam pengembangan Pondok Pesantren dewasa ini, disebutkan: Al-Muhâfazhah ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah, memelihara dan merajut tradisi-tradisi yang lama dengan tetap mengadopsi sesuatu yang kontemporer yang dianggap relevan. Makna dari kaidah itu telah direalisasikan secara luas oleh organisasi NW dengan membuat sesuatu yang baru atau suatu yang lama dalam format yang berbeda. Inovasi-inovasi ini jelas mendapatkan ragam tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat, tapi NW tetap mengorbitkan inovasi-inovasi yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat. Di antara inovasi-inovasi tersebut adalah sebagai berikut:
    
        1. Semangat Beramal: Melontar Dengan Uang
Ada tradisi yang dikembangkan oleh pendiri NW TGKH. M. Zaenuddin Abdul Madjid yang tidak lazim dilakukan oleh tuan guru-tuan guru yang lain yaitu tradisi melontar dengan uang di saat akan berakhirnya pengajian yang dipimpin langsung oleh beliau atau oleh wakil. Tradisi ini substansinya adalah mengajak masyarakat secara sukarela mengeluarkan harta yang dimilikinya berupa uang dari uang pecahan puluhan rupiah sampai ribuan rupiah. Tradisi ini berpijak pada tradisi Nabi Muhammad SAW di saat mengajak para sahabat untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu para sahabat dalam medan perjuangan. Para sahabat secara sukarela mengeluarkan harta bendanya sesuai yang diharapkan Nabi. Tradisi ini dikonkritkan oleh NW dengan format yang berbeda sesuai keadaan dan karakteristik masyarakat Lombok khususnya masyarakat kelas bawah yang secara esensial hanya dengan sistem ini mereka bisa mengeluarkan infaq sadaqah kepada perjuangan NW yang mungkin merasa malu untuk mengeluarkan uang yang nominalnya sangat sedikit, sehingga dengan sistem melontar diharapkan masyarakat tumbuh semangat untuk berkorban demi kepentingan umat yang lebih banyak.

2. Semangat Berdoa: Hizib Berjama’ah
Hizib merupakan kumpulan bacaan yang terdiri dari sejumlah ayat, hadits dan doa-doa. Hizib ini merupakan kekuatan spiritual khas dan paling otentik dalam tradisi masyarakat Nahdlatul Wathan. Kekuatan magnet hizib tidak lain berkat sosialisasi yang sangat inten dari pendiri NW sekaligus perumus hizib sendiri.[20]
Awalnya hizib tersebut merupakan catatan kumpulan doa-doa yang diamalkan secara pribadi oleh Maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid. Kemudian disebarkan pada rekan-rekannya dan santri-santrinya di lingkungan madrasah dengan nama ''doa Nahdlatul Wathan'' yaitu pada akhir tahun 1360 H/1941 M, dengan harapan semoga Allah SWT menjaga kesinambungan madrasah NWDI yang didirikan. Jadi ada korelasi antara lahirnya doa-doa tersebut dengan permohonan keselamatan program dakwah lewat jalur pendidikan yang dirintis itu.
Dengan ketulusan pribadi mengamalkan doa-doa tersebut, yang juga diikuti oleh murid-muridnya di NWDI dan NBDI maka cepat tersiar doa tersebut kelapisan masyarakat, lebih-lebih setelah berbagai macam ujian dan cobaan pada masa awal pertumbuhan madrasah tetap tertanggulangi, maka secara otomatis khasiat doa-doa tersebut makin diyakini oleh masyarakat NW. hingga kemudian setelah lebih dua dasawarsa menjadi hizib yang tercetak dan lebih mudah bagi siapa saja untuk membacanya. Kutipan panjang berikut mengisahkan kronologisnya:
Maka sudah lebih dua puluh tahun lamanya hizib NW mendengung di dunia madrasah NW Diniyah Islamiyah di pulau Selaparang (Lombok) ini, yaitu mulai dari sejak beberapa bulan dari pendaratan tentara Jepang (Nipon) di pulau Jawa dengan ganasnya yang mengakibatkan Madrasah-madrasah (sekolah agama) di seluruh kepulauan Indonesia lebih dari enam puluh persen (60%) gulung tikar atau digulung langsung oleh Jepang atau oleh kaki tangan Jepang (pengkhianatan nusa bangsa, tanah air dan agama). Setelah berdirinya madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (madrasah kaum hawa) pada 21 April 1943, disusun pula Hizib Nahdlatul Banat yang didengungkan pagi–sore oleh kaum hawa. Setibanya Jepang di daratan Lombok, alhamdulillah para pelajar NWDI dan NBDI sudah setia setiap saat dengan hizib mereka, yang mengandung beberapa ayat Allah, Hadits-hadits Rasulullah SAW dan beberapa as'ma Allah, maka dengan limpah pertolongan Rabbul alamin dan dengan berkah-berkah Asror (rahasia-rahasia) kedua hizib yang diwiridkan (amalkan) pagi-sore itu, kedua Madrasah itu selamat (terpelihara) dari pada keganasan ancaman Jepang dan ancaman kaki tangan Jepang sekalipun berkali-kali mereka datang di Pancor (madrasah) bermaksud menutup (membubarkan) madrasah tersebut, Walakin Yadullah Fauqo aidihim, selanjutnya selamat pulalah kedunya dari  kekejaman ancaman NICA akibat penyerbuan guru-guru madrasah NWDI serta beberapa muridnya pada kubu pertahanan NICA di Selong yang membawa bukti sabil (syahidnya) saudara kandung kami Ustadz Haji Muhammad Faishal Abdul Madjid yang menjelmakan taman bahagia di Selong.
Pada malam Jum'at Nisfu Sya'ban tahun 1363 H/1944 M telah kejadian kebakaran umum di seluruh gubuk Bermi (kampung tempat berdiamnya NW dan Nahdlatul Banat), alhamdulillah kedua madrasah tersebut serta rumah-rumah pembangunannya terpelihara sekalipun kampung tersebut menjadi lautan api dan semua rumah-rumah (bangunan-bangunan) sekitarnya habis menjadi abu. Dzalika fadlullahi Yu'tihi  man yasya' wallhu dzul fadlil 'adzim. Demikian seterusnya pada masa-masa yang lampau selalu kedua umm al-madâris (Nahdhatul Wathan dan Nahdhatul Banat) ditimpa oleh bermacam-macam malapetaka, fitnahan dan hasutan, tetapi tuhan Allah tetap melindungi. Penduduk Pancor sendiri sama mengetahui berbagai macam peristiwa ajaib yang bersejarah itu kecuali mereka yang buta mata hatinya atau pura-pura buta tuli bisu (summum bukmun 'umyun), atau memang sengaja ingin mengabai jalannya perkembangan sejarah kedua madrasah tersebut. Itulah madrasah NW dan madrasah Nahdlatul Banat beserta hizib NW dan hizib Nahdlatul Banat, oleh kedua hizib ini sudah tersiar di sana-sini dengan meluasnya, terutama setelah diresmikan berdirinya organisasi Nahdhatul Wathan pada hari Ahad 15 Jumadil tsani 1372 H/1 Maret 1952 M, maka bertambah pesatlah tersiarnya sampai di luar daerah Lombok di mana cabang NW berdiri.[21]

Tepatnya pada tahun 1962 untuk pertama kalinya Hizib tersebut berhasil dicetak. Hal ini mengingat banyaknya permintaan khususnya dari keluarga besar NW untuk lebih mudahnya mengamalkan hizib tersebut.
Tradisi membaca hizib memang merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah di manapun berada dan berlabel organisasi keagamaan apapun juga. Hizib-hizib sebenarnya adalah do'a-doa biasa, namun karena diciptakan oleh ulama terkenal maka menjadi terkenal dan disukai oleh banyak orang. Dalam kaitan ini hizib yang disusun oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah karya orisinilnya, meskipun tentu mengutip banyak doa dari ulama terdahulu, disebut-sebut merupakan kumpulan doa-doa 70 auliya' yang diramunya dan disajikan dalam bentuk baru.
Bacaan hizib dapat dilakukan secara sendiri atau berjama'ah. Apabila sendiri maka sebelum pada bacaan inti terlebih dahulu membaca fatihah tiga kali dengan niatnya dan membaca shalawat yang enam, baru membaca hizib dan berdoa. Adapun jika hizib dibaca secara berjama'ah misalnya pada malam jum'at maka tata caranya sebagai berikut :
1.      Membaca fatihah tiga kali, dengan niat masing-masing ditujukan kepada: a) Nabi Muhammad SAW, Nabi yang lain dan seluruh keluarganya berikut para sahabat. b) penyusun hizib maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, silsilahnya ke atas dan orang yang mencintainya. c)para auliya', ulama', guru-guru, dan kaum nahdliyyin dan nahdhliyyat dan muslimin muslimat.
2.      Membaca surat Yasin sekali oleh masing-masing hadirin
3.      Membaca shalawat Nahdlatain, sekurang-kurangnya 10 kali, lalu membaca shalawat lima lainnya masing-masing sekali, yaitu a) shalat al-Fatih, b) shalat an-Nariyah, c) shalat al-Thib, d) shalat al-aliyyil Qadri, e) shalat miftahi babi rahmatillah.
4.      Membaca hizib
5.      Membaca qasidah al-munfarijah dst sampai doa sulthanula auliya' syiekh Abdul Qadir Jaelani, ayudrikuni dhaimun…
6.      Doa penutup. Dari teks yang dilengkapi tata cara tersebut lebih-lebih lagi karena sosialisasi yang sangat inten, maka kini tradisi hiziban masyarakat pesantren NW menjadi   sangat meluas.

            3. Semangat Berulang Tahun: Hultah NWDI
Istilah HULTAH dipopulerkan oleh organisasi NW yang semakna dengan istilah yang dipopulerkan oleh ormas-ormas Islam lainnya, seperti Milad, Harlah, Dies Natalies, Haul, dll. Kata hultah sebenarnya diambil dari bahasa Arab, Hâla, Yahûlu, Haûlan, yang berarti keadaan yang sudah sampai setahun, atau sesuatu yang genap setahun, kemudian ditambahkan dengan Ta’ mukhatab, menjadi Hulta, yang berarti engkau merayakan hari yang ke setahun, kemudian ditambahkan Ha’ dhamir, kata ganti orang pertama tunggal  menjadi Hultahu, diwakafkan menjadi Hultah. Referensi Ha’ itu ke  yaum milad sehingga menjadi hultah, yang secara umum diartikan engkau merayakan hari kelahirannya.    
Istilah HULTAH NWDI pertama kali dikenal pada ulang tahun NWDI ke-15 pada tahun 1952. awalnya hanya berbentuk tasyakkuran, yang diisi dengan pengajian singkat dan diakhiri dengan acara makan bersama (begawe/begibung/-Bahasa Sasak). Dalam perkembangan selanjutnya, HULTAH NWDI ini dijadikan sebagai acara pengajian tahunan pendirinya dan media silaturrahmi dan komunikasi antaralumni (abituren) dan jamah NW di seluruh Nusantara serta dihadiri oleh pejabat dari instansi pemerintah, baik lokal maupun nasional, bahkan juga undangan dari negara-negara sahabat dan perwakilan badan-badan internasional seperti WHO, UNICEF, dan lain-lain.
Hari ulang tahun atau biasa disebut oleh masyarakat NW dengan sebutan Hultah. Hultah merupakan hari ijtima' nasional yang diselenggarakan oleh dewan pengurus Besar NW. Peringatan Hultah dan istilahnya merupakan inovasi baru bagi organisasi NW dalam membangun kesadaran dan semangat bersama dalam memperingati nilai-nilai perjuangan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Pendiri NW, sehingga Hultah menjadi urgen jika dikemas sesuai dengan tuntutan awal diselenggarakan peringatan tahunan bagi warga NW, dan ini membuktikan NW memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam bidang pengembangan sosial keagamaan di NTB ini.

 4. Tradisi Syafa’ah Al-Kubro
Banyak istilah yang dikembangkan oleh organisasi lain seperti, Istighosah, Ratiban, Zikiran, dan lain-lain. Tradisi ini sebetulnya telah dikembangkan oleh ulama'-ulama terdahulu, tapi yang berbeda mungkin masalah istilah yang  dipergunakan. Kalangan masyarakat pesantren NW istilah zikir yang dilakukan secara berjama'ah di saat pengajian, atau hajatan keluarga yang telah meninggal dunia, diistilahkan dengan syafa'ah  dan istilah ini menurut penulis, menjadi term sosial yang berkembang di NTB karena dikembangkan oleh NW. dengan demikian pengembangan sosial keagamaan dalam aspek-aspek tertentu sangat didomisasi oleh organisasi NW.  
Secara etimologi maupun terminology kata syafa'ah bermakna memberikan pertolongan dengan membacakan do'a-do'a yang diniatkan kepada apa yang dihajatkan oleh sohib al-hajah (yang mengundang untuk melakukan kegiatan hajatan). Tradisi syafa'ah ini terus-menerus dikembangkan oleh warga NW sebagai wasilah zikir sekaligus ajang silaturrahim antar sesama muslim atau dalam sekala besar tradisi syafa'ah dijadikan sebagai sarana untuk beramal jariah bagi kalangan masyarakat NW.
Adapun prinsip dasar pelaksanaan syafa'ah atau zikir secara berjamaah dalam konsep Islam tidak perlu diperdebatkan kembali cara dan istilah yang digunakan, sebab masing-masing ulama, khususnya kalangan ulama ahlussunnah wal jamaah secara ijma' mengatakan bahwa zikir berjama'ah itu termasuk sunnat yang diwariskan oleh Nabi  Muhammad SAW. Hanya saja yang masih diperdebatkan mengenai tata cara zikir itu sendiri. Kalangan masyarakat pesantren NW, tradisi syafa'ah dilakukan secara berjamaah dan suara jahar (nyaring).

5. Semangat Emansipatoris: Pendidikan Untuk Kaum Perempuan
            Ada beberapa lembaga yang secara khusus membina dan mendidik kaum perempuan di Lembaga NW;
            Pertama, Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah, madrasah yang didirikan pada era penjajahan Jepang, 15 Rabi’ al-Akhir 1362 H/ 21 April 1943. madrasah inilah, madrasah pertama di NTB yang mencetuskan pendidikan untuk kaum perempuan yang sebelumnya tidak pernah dirintis oleh para tuan guru-tuan guru yang lain. Jadi NW dapat dikatakan sebagai pelopor emansipatoris bagi kaum perempuan yang mensejajarkan antara laki-laki dalam aspek mendapatkan hak dan kewajiban untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
            Alumni-alumni NBDI dapat mendorong terciptanya lembaga-lembaga keperempuanan di tingkat kabupaten di Lombok, seperti, Madrasah Sullam al-Banat di Sakra, Madrasah al-Banat di Wanasaba, Madrasah Is’af al-Banat di Perian, Madrasah Sa’adatul Banat di Praya, Madrasah Tanbih al-Muslimat di Praya,dll. Ini membuktikan bahwa peranan NBDI yang kemudian dikoordinasikan dalam Organisasi NW telah memberikan kontribusi nyata dalam mengangkat harkat martabat perempuan NTB. Kiprah perempuan NTB jelas memberikan nuansa baru dalam aspek pembangunan sosial keagamaan di tengah komunitas mereka masing-masing.  

            Kedua, Madrasah Muallimat 6 Tahun, yang didirikan pada tahun 1957, madrasah ini diorientasikan untuk menjadi guru-guru agama di madrasah-madrasah yang didirikan oleh NW dan pemerintah. Kontribusi nyata dari Madrasah Muallimat ini adalah lahirnya srikandi-srikandi NW yang siap berjuang melawan kebodohan dan kesenjangan sosial di tengah masyarakat, dan tidak sedikit dari kader-kader muslimat NW yang berkiprah dalam segala bidang dan keahlian.

            Ketiga, Ma’had lil Banat, Perguruan Tinggi yang khusus untuk kaum perempuan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid pada tahun 1974 M. Lembaga ini merupakan lembaga yang secara kurikulum mengacu pada kurikulum Madrasah as-Saulatiyyah Makkah di mana TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dulu menuntut ilmu, sehingga Ma’had lil Banat ini dijadikan sebagai lembaga yang secara khusus mengkaji kitab-kitab klasik ala madrasah Saulatiyyah dengan sistem belajar khalaqoh (duduk bersila), dan lembaga ini dibentuk dalam tiga tingkatan. Kiprah alumni Ma’had Lil Banat ini dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB secara umum telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air sembari mengemban amanat ke-NW-an dan ke-Islam-an. [22]


EPILOG

            Sebagai sebuah organisasi, NW telah mengambil peran yang sangat besar terhadap pengembangan kualitas umat di NTB, baik kualitas spiritual, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, bahkan politik. Bahkan NW tidak hanya menjadi lokomotif bagi perkembangan umat, tetapi juga menjadi perekat sosial dalam keragaman masyarakat NTB khususnya dan masyarakat Indonesia secara nasional.
Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi NW;
Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.
Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan lainnya.
Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan NW.
Dengan demikian, tak salah jika kita menyebut NW sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dalam arti luas di Nusa Tenggara Barat


[1]Lihat Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj), (Jakarta: CV Rajawali, 1998)h.30..lihat kutipannya juga dalam Abd Aziz (Peny.), Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) h.66.
[2]Konsep organisasi di kalangan para ahli sosiologi dan antropologi secara umum mengatakan bahwa organisasi pada prinsipnya memiliki dua dimensi penting, pertama adalah organisasi sosial dan kedua dikatakan sebagai struktur sosial. Organisasi sosial termasuk di dalamnya organisasi keagamaan seperti NU, NW, Muhammadiyah, di mana para ahli kerap kali menyamakan begitu saja kedua konsep ini. Padahal organisasi sosial cendrung digunakan secara longgar untuk merujuk kepada penjumlahan total kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu. Sedangkan struktur sosial biasanya dipergunakan ntuk merujuk konteks sosial itu sendiri, atau lebih tepatnya bagi seperangkat  hubungan sosial yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam masyarakat. (lihat, Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006)h. 170
                [3] Ma’shum Ahmad Abdul Madjid, BA, “Meneladani Kepemimpinan Hamzanwadi”, Makalah disampaikan pada acara Kongress HIMMAH NW V di Pancor pada tanggal 14 Mei 1994, lihat juga kutipannya, Muh. Nur, dkk, Visi…h. 307
[4]Karel A.Steenbrink membagi sejarah Islam di Indonesia kepada tiga periode: pertama, sejak masuknya Islam sampai abad ke -17, kedua, abad pertengahan (awal VOC) sampai abad ke-19, ketiga, abad ke-20 sampai sekarang. Lihat, Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),h.155.
[5] Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70, (Jakarta: Nimas Multima, 1997)h.1
[6]Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: eLSAS, 2004),h.118,  lihat juga Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhlatul Ulama, (Solo: Jatasu Sala, 1985) h.25. lihat juga buku Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, (Jember : Masjid Sunan Kalijaga, 2004) h. 15.
[7] Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi  Sampai Tradisi, (Bandung : Rosda Karya, 2001),h. 91
[8] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi  Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 270 
[9]Secara redaksional ungkapan ini telah lama dicetuskan oleh Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta: Erlangga, 2003)h. 18, dengan ada penambahan penjelasan dari penulis dengan memasukkan organisasi NW yang berbasis masa Islam terbesar di NTB, di mana secara  prinsip ada  kesamaan  dengan  dua organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.
[10] Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1, h. 305. lihat juga, Abdul Hayyi Nu'man & Sahafari As'ary, Organisasi NW Di Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah, (Pancor : Toko Buku Kita)1984, cet.1.h.12.
                [11]Madrasah al-Sa’adah di Kelayu, 1942, Madrasah Nurul Yaqin, Praya, 1942 Madrasah Nurul Iman, di Mamben, 1943, Madrasah Shirat al-Mustaqiem, di Rempung 1943, Madrasah Hidayatul Islam di Masbagek, 1943 Madrasah Nurul Iman di Sakra, 1944, Madrasah Nurul Wathan di Mbung Papak, 1944, Madrasah Tarbiyah al-Islam, di Wanasaba, 1944, Madrasah Fari’iyyah di Pringgasela, 1945. (lihat, Muh. Nur, dkk, Visi…h.189) 
[12]John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid''  yang  mungkin  meremehkan  keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen,  Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya; Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001), cet. 1, h. 86.  
[13]Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan jumlah masjid 829, Lombok Tengah  1.229 masjid,  Lombok Timur, 1.574 masjid, Kota Mataram 225 masjid.
                [14] Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Press, 2007), cet. 1, h. 227
                [15]Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-an perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh kharismatik TGKH M.Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang,  pesantren tersebut dibubarkan oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah yang bernama NW Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M  khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21 April 1943 M khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama di daerah  Lombok yang menggunakan pengajaran sistem klasikal.[15] Dari dua  madrasah inilah sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar di NTB yang bernama organisasi NW (NW) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 M bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki cabang diseluruh daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan di lingkungan organisasi didirikan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.
                [16]Istilah ini dipopulerkan oleh Maulana Syeikh Muhammad Zainuddin untuk menjelaskan bahwa eksistensi dua madrasah ini akan tetap berjaya dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Istilah ini mencerminkan komitmet yang kuat bagi pendirinya untuk tetap berjuang membela prinsip yang menjadi acuan dalam berjuang mengembangkan amanat agama melalui pendidikan madrasi yang awal mulanya mengalami tekanan dan rintangan dari segala penjuru, namun prinsip yang beliau pegang teguh adalah dua madrasah ini menyatu dalam satu prinsip yang tak akan bisa pudar dan hancur. 
[17] Lihat, Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah, (Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004), h. 189, (Tesis tidak dipublikasikan), Lihat juga, Eksistensi Pondok Pesantren di NTB, dalam jurnal Pesantren Studies, (Jakarta: Depag RI, 2008), h. 34
[18]Fahrurrozi, Eksistens... h. 189, Lihat juga, Eksistensi Pondok....h. 35.
            [19] Sumber: Data Emis Depag dan Sekretariat FKSPP NTB, 2003-2004

[20] Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola Dakwah TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid, Laporan Penelitian,1999, h.86.
[21]Teks aslinya  tertulis dengan huruf Melayu  Arab. Lihat Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Hizib NW wa hizib Nahdlatul Banat, Pancor: Toko Buku Kita, cet.ke-74, tt, h.35-34. Naskah hizib ini dicetak ulang hampir tiap tahun dan merupakan teks yang paling banyak beredar di kalangan warga NW.
                [22] Semangat Perjuangan: eksplorasi prinsip-prinsip   perjuangan TGH.Zainuddin dalam gubahan syairnya. Semangat kebangsaan. semangat kebangsaan TGH. Muhammad Zainuddin dalam menakhodai NW tercermin dalam ungkapan syairnya:
انت يا فنجور بلادى انت عنوان الكمال    الخ
وطنى روحى فداء  لك من كل الضلال 
                Semangat primordialisme:
هيا غنوا نشيدنا   يا فتى ساسك باندونسيا بلغ الايام والليالي نحن اخوان الصفا  كلنا على الوفا نستعد بحزبنا يحي
                Semangat kepemudaan:
نحن فتيان العلوم  كل يوم لا ننوم امالنا  فوق النجوم  جهادنا للمسلمين    الخ