Oleh:
Fahrurrozi
Lalu Muhammad Iqbal
Email: iqbalmoerado@yahoo.com
ABSTRAK
Nama Nahdlatul Wathan secara filosofis semakna dengan; pergerakan kebangsaan,
pembangunan tanah air, pembelaan terhadap nasionalisme, pergumulan sosial,
perkumpulan primordialisme. Pendiri NW, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki semangat nasionalisme yang kuat dalam pembangunan bangsa dan negara. Guru besarnya di Madrasah As-Shoulatiyyah yang bernama Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Masyyath pernah memberikan nama
organisasi yang diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan; Nahdlat al-Din
al-Islam li al-Wathan
atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan, namun kecerdasan dan
kebesaran jiwanya memutuskan
nama Nahdlatul Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam wilayah yang sangat universal, bukan saja aspek agama tapi meliputi negara dan semangat kebangsaan. Usia NW yang 79 tahun telah
mengalami metamorfose sejarah panjang melewati 4 zaman (zaman penjajahan, orde lama, orde baru dan era reformasi), membuktikan bahwa Nahdlatul
Wathan adalah organisasi yang memiliki semangat besar untuk terus berjuang di tengah zaman dan masyarakat yang berubah-ubah.
Key words :
Nahdlatul Wathan, Pembangunan, Sosial-Keagamaan, Gerakan,Pengembangan, Kontribusi, Peran,
Eksistensi.
PROLOG
Ralp Dahrendorf mengatakan,
bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang terus menerus di
antara unsur-unsurnya.[1] Teori ini nampaknya tepat untuk digunakan dalam
memahami perkembangan organisasi di Nusa Tenggara Barat, dimana setting sosial
masyarakatnya secara kultur dan agama sangat pluralistik dan kompleks, sehingga masyarakat yang berada dalam komunitas etnis, kultur, dan agama bahkan
organisasi masyarakat (ormas)[2] yang beragam itu harus mendapatkan sosialisasi berkesinambungan tentang arti keragaman dalam keberagamaan. Upaya
ini menjadi penting sebagai modal untuk menciptakan keharmonisan dalam semua
aspek kehidupan majemuk.
Ada dua bentuk pengkajian yang
dilakukan oleh para penyelidik kesejarahan Islam Indonesia yang dapat dilihat.
Pertama, menampilkan bentuk kajian menyeluruh dengan melihat semua organisasi
yang ada sebagai suatu kesatuan. Masing-masing organisasi tidak dilihat secara
tersendiri, melainkan diamati dalam kegiatan dan keterkaitannya dengan
organisasi lain, lalu dihubungkan dengan keterlibatan mereka dalam pergerakan
keagamaan di Indonesia. Kedua, menampilkan secara terpisah. Peran dan
perkembangan masing-masing organisasi dari segi satu persatu dan mendalam,
sehingga sosok masing-masingnya nampak lebih utuh. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa kegiatan dalam bentuk kedua semakin banyak dilakukan, tidak
hanya untuk kalangan modernis, tetapi juga telah menjamah organisasi-organisasi
kelompok tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan di NTB dan lain sebagainya.
Tulisan ini mengetengahkan sisi-sisi pembangunan sosial keagamaan
yang telah dilaksanakan oleh Nahdlatul Wathan sebagai
sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak dalam tiga ranah penting: Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah.
Catatan
Maulana Syeikh Muhammad Hasan
al-Massyath tentang penamaan organisasi yang diusulkan oleh TGH.Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dengan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat
al-Islam li al-Wathan.dapat dijadikan pijakan bahwa relasi antara agama dan
negara dalam konteks ini bersifat integral dan simbiosis mutualisme. Artinya,
negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis moral untuk
menegakkan berdirinya suatu institusi negara. Sementara agama tidak akan
berfungsi maksimal tanpa ada dukungan dari negara. Jadi agama mengisi preferensi nilai-nilai normatif
dari sebuah negara.
Organsasi
Nahdlatul Wathan (selanjutnya disebut NW) secara embrional berasal dari Madrasah NW Diniyyah
Islamiyyah (NWDI) dan Madrasah Nadlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI)
didirikan dalam suasana dan kondisi sosio-historis yang heroik, baik dalam
konteks penegakan agama Islam maupun kebangsaan. Kelahiran organisasi tersebut
sekaligus memberi respon terhadap konteks sosio-historis masyarakat pada masa
itu. Heroisme dalam aspek penegakan agama Islam tercermin dari upaya yang
secara simultan diikuti dengan keyakinan dan keikhlasan untuk memperbaiki
pemahaman dan cara keberagamaan. Tujuannya jelas, yakni agar nilai-nilai,
praktek, dan budaya Islam dapat dihayati dan diamalkan dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Sedangkan heroisme dalam aspek kebangsaan terrefleksikan
dari upaya pembebasan masyarakat dari kebodohan dan ketertindasan melalui
pendidikan sebagai bekal untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Atas
dasar inilah, maka orientasi NW bertumpu
pada upaya-upaya untuk memadukan dan mensinergikan antara agama dan negara. Menurut TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, penyebutan istilah
NW mengandung dua makna filosofis sekaligus, yakni
membangun negara dan agama. Artinya bahwa agama dan negara diposisikan sama
dalam satu tarikan nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara,
begitu juga sebaliknya.
Namun
untuk dapat mencapai makna filosofis ini, paling tidak terdapat lima kesadaran
yang direfleksikan dari kata Nahdlatul Wathan, yaitu, 1) Wa’yu al-Din
yaitu kesadaran beragama, 2).Wa’yu al-Ilmi, yaitu kesadaran akan
pentingnya ilmu pengetahuan, 3) Wa’yu al-Nidham, yaitu, kesadaran
berorganisasi, 4),Wa’yu al-Ijtima’, yaitu, kesadaran sosial
kemasyarakatan, dan 5),Wa’yu al-Wathan, yaitu kesadaran berbangsa
dan bernegara.[3]
B. SEJARAH PENAMAAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN
Kajian tentang Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap peran dan perkembangan
organisasi-organisasi keislaman yang ada di Indonesia itu sendiri, terutama
pada abad ke-20.[4] Kajian ini merupakan studi yang amat diperlukan,
bila kita memang bermaksud untuk menampilkan sosok Islam dalam wajah yang lebih
komprehensif, mengingat pada abad dua puluhlah umat
Islam di kawasan Indonesia mulai bergerak dalam skala nasional dan berkelompok
dalam berbagai organisasi modern keagamaan.[5] Dalam aspek kesejarahan antara organisasi NW dan Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut NU) terdapat
kesamaan prinsip sejak para
tokoh pendiri organisasi Islam ini dibentuk. Secara organisatoris hal ini dimulai ketika para tokoh pesantren, Wahab
Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama NW pada 1916 di Surabaya.
Staf pengajar NW didominasi oleh ulama pesantren, seperti Bisri Syansyuri
(1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah Ubaid (1899-1938). Pada 1918,
Wahab Hasbullah dan KH.Ahmad Dahlan dari Kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar,
yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan yang mempertemukan kelompok
pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul Wahab Chasbullah dan KH
Hasyim Asy'ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang bernama Nahdlatul Tujjar.
Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya saling pengertian
antara kelompok Islam pesantren dan modernis berubah menjadi persaingan yang
mengelompok.[6]
Aspek penamaan organisasi yang
muncul di NTB secara historis terdapat kesamaan nama dengan organisasi yang
didirikan oleh para pendiri organisasi NU, klaimisasi ini dalam pengamatan
penulis perlu penelusuran lebih lanjut antara NU dan NW dalam segala aspek,
sehingga dengan demikian dapat diperoleh keabsahan data tentang hubungan atau
integrasi organisasi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang secara
nasional telah membentuk kepengurusan di seluruh Indonesia dengan organisasi NW
yang berpusat di NTB yang secara kultural berdiri berdasarkan tuntunan zaman di
mana pendirinya berada.
Disadari betapa
persoalan-persoalan organisasi makin hari cenderung makin ruwet, khususnya
persoalan manusianya itu sendiri yang acapkali berlanjut menjadi tantangan
pokok yang harus dihadapi oleh setiap prangkat manajemen. Seyogyanya individu-individu yang berlaku
dalam organisasi dengan berbagai motif dan keinginan-keinginan yang hendak
dicapainya harus dipahami secara luas dan mendalam.[7]
Perlu disadari pula bahwa
kehidupan berorganisasi atau berkelompok merupakan naluri manusia sejak
dilahirkan. Naluri ini yang mendorong untuk selalu menyatukan hidupnya dengan
orang lain dalam organisasi atau kelompok. Naluri berkelompok dan berorganisasi
itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok yang
lebih besar dalam kehidupan yang lain di sekelilingnya bahkan mendorong manusia
menyatu dengan alam fisiknya.
Keberadaan suatu kelompok atau
organisasi dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan
dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial,
pendidikan, persuasi, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi
terapi.[8]
Upaya
penciptaan kedamaian salah satu diantaranya adalah menciptakan peluang
komunikasi dan dialog antar warga, antar organisasi, melalui tokoh-tokohnya,
baik tokoh agama, tokoh pimpinan organisasi, maupun tokoh masyarakat atau
memfasilitasi adanya pertemuan yang memungkinkan terciptanya silaturrahmi antar
organisasi dan sesama warganya.
Berbagai gagasan keagamaan
terbuka dikembangkan jika pemeluk agama atau penganut suatu paham keagamaan bisa bebas dari pemberhalaan identitas keagamaannya. Kesalahpahaman yang sering
terjadi di kalangan penganut agama atau pengikut organisasi keagamaan seperti
NU, NW, lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan identitas warga dari
kedua organisasi tersebut, bukan oleh keyakinan teologis yang sama-sama sunni.
Artikulasi atau pengungkapan kepentingan setiap anggota masyarakat yang empirik
akan dipengaruhi oleh konseptualisasi nilai kebenaran dan kebaikan yang sesuai
akar sosial budaya masing-masing organisasi. Formula kepentingan itu seringkali
diperkuat, dilegitimasi dan disimbolisasi oleh identitas ke-NU-an dan ke-NW-an.[9] Hubungan
NU-NW menjadi rumit ketika mayoritas warga dari kedua gerakan ini menjadikan
organisasi sebagai identitas diri, bukan sebagai wahana. Bukan kepentingan dan
nilai etika Islam universal yang didahulukan, tetapi kepentingan organisasi
yang mudah dimanipulasi atas nama kelompok tidak memiliki identitas, kedua
gerakan itu lebih mudah bekerjasama secara mutual-simbiosis, dan akan segera
bubar ketika keduanya mulai menampakkan identitas mereka masing-masing.
Persoalan ini menjadi lebih kompleks ketika semua tradisi dan wilayah kehidupan
social atau ritual telah dipetakan ke dalam identitas NU atau NW.
Asal usul NW dapat dilacak
dari catatan sejarah pendiriannya. Nama ini pertama muncul sebagai proses
bargaining (tawar menawar) antara nama Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan
atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan dengan Nahdlatul Wathan. Dua
nama yang disebut pertama diusulkan oleh gurunya, Syeikh Hasan Muhammad
al-Masysyath. Sementara nama NW merupakan hasil ijtihad TGH.M.Zainuddin
berdasarkan background sosio-historis masyarakat pulau Lombok pada
khususnya dan Indonesia pada umumnya.[10]
C. NAHDLATUL WATHAN PERSPEKTIF GERAKAN KEAGAMAAN (RELIGIOUS
MOVEMENT).
1. Pergerakan
Sosial-keagamaan Pra-Kemerdekaan RI (1936-1945)
Periode ini TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membuka Pesantren al-Mujahidin, tepatnya tahun 1934 M. Pesantren al-Mujahidin awalnya adalah sebuah
musalla yang didirikan oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid sebelum ia
pulang ke Lombok. Sedianya mushalla ini akan dijadikan sebagai tempat
mengajarkan agama seperti layaknya tuan guru-tuan guru pada umumnya saat itu.
Gerakan Perjuangan
Kemerdekaan Gerakan al-Mujahidin.
Maulana Syeikh mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyyah (NWDI) 17 Agustus 1936 M dengan izin dari Pemerintah Belanda, dan pada tanggal 15
Jumadil Akhir 1356 M/22 Agustus 1937 M (NWDI) diresmikan. Ia juga mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) 15 Rabi’ul
Akhir 1362 H/ 21 April 1943 M.
Pergerakan keagamaan NWDI
menyebar ke seluruh wilayah Lombok sehingga dalam rentang waktu 1937-1945 telah
berdiri sembilan buah cabang madrasah
NWDI.[11]
Gerakan
dua madrasah tersebut membuktikan bahwa pergerakan tanah air dimulai dari
pengkaderan di madrasah yang diorientasikan menjadi anjumi nahdlatil wathan,
bintang-bintang pejuang NW dan hasil dari
kaderisasi tersebut terbukti dengan menyebarnya para alumni di seluruh pelosok
desa yang kemudian bergerak di wilayah masing-masing sesuai dengan bakat dan
kemampuan mereka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat madarasah NWDI-NBDI
tersebar di mana-mana.
2. Pergerakan
Sosial-keagamaan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)
Perjalanan NWDI-NBDI dalam
perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai lembaga yang bergerak dalam
bidang sosial keagamaan sangatlah berat, di mana penjajahan Belanda belum mengakui
kemerdekaan Indonesia, maka konsekuensinya adalah seluruh kekuatan dan potensi
yang dimiliki oleh anak bangsa dipertaruhkan untuk membela kemerdekaan Republik
Indonesia. Dalam konteks ini NWDI-NBDI dan seluruh jajarannya mengambil bagian
untuk membela tanah air dan membela jati diri bangsa dan agama dari tangan
penjajah.
Sejarah menceritakan bagaimana
para murid-murid awal NWDI berjuang mati-matian membela tanah air demi
mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan tebusan jiwa dan raga. Pendiri
NBDI-NWDI dan NW tampil kepermukaan untuk memimpin pertempuran melawan
penjajahan yang ingin mempertahankan jajahannya di bumi pertiwi, sehingga
tebusan untuk membela negara tersebut, adik kandung TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menjadi saksi atas perjuangan
mereka dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, para syuhada’ yang merupakan
penerus dan pelanjut NWDI antara lain, TGH. Muhammad Faishal AM, Sayyid Saleh
dan Abdullah, menjadi saksi sejarah betapa berat dan kerasnya perjuangan
Pendiri NWDI, NBDI dan NW mempertahankan kedaulatan RI dari tangan penjajah.
3. Pergerakan
Sosial-keagamaan di Orde Lama (1949-1965).
NW sebagai sebuah organisasi
Islam yang lahir di Bumi Selaparang, membuktikan dirinya sebagai organisasi
yang tetap konsisten dalam prinsip dan responsif terhadap perkembangan zaman,
maka NW selalu dapat menyesuaikan diri dengan era di mana NW itu berada.
Keberadaan NW di Orde Baru, jelas terjadi pasang surut atau terjadi dinamika di
dalamnya, tapi secara umum NW tetap eksis mempertahankan dirinya sebagai
organisasi yang bergerak dalam ranah pendidikan, sosial dan dakwah, meskipun
era orde lama, stabilitas politik dalam negeri masih kurang kondusif, tapi peluang itu bisa
ditangkap oleh Pendiri NW ini untuk memanfaatkan sebaik mungkin guna mempertahankan
eksistensi NW dan berikut perjuangannya dalam bidang sosial keagamaan.
Tidak sedikit keberhasilan
yang diraih oleh NW pada era ini dalam hal memajukan pendidikan,
mensejahterakan rakyat melalui lembaga-lembaga sosial yang dibina oleh NW.
4. Pergerakan
Sosial-Keagamaan di Orde Baru (1966-1998)
Peralihan orde lama ke orde
baru sangat memberikan corak terhadap pergerakan organisasi Nahdlatul Wathan.
Dengan bertambah usianya NW secara tidak langsung lebih matang dalam mengembang amanat umat dan lebih siap untuk berkompetisi dengan organisasi-organisasi yang lain. Era Orde Baru bagi NW dapat
dikatakan sebagai era yang paling banyak melahirkan lembaga-lembaga pendidikan,
sosial, dakwah dan budaya, karena memang orde baru secara priodenisasi sangat
lama sekitar 32 tahun. Yang pasti di era ini NW telah banyak memberikan
sumbangan pembangunan untuk NTB dalam segala bidang, baik bidang pendidikan,
sosial, ekonomi, kesehatan, pariwisata,dll.
5. Pergerakan
Sosial-Keagamaan di Era Reformasi (1998-sekarang)
Kiprah
NW tidak berhenti dengan meninggalnya pendiri NWDI, NBDI dan NW pada tahun 1997 M. NW pasca pendiri adalah era baru bagi
masyarakat dan jamaah NW karena di masa itulah terjadi transisi kepemimpinan
yang berimplikasi pada perubahan situasi yang disesuaikan dengan keadaan
masyarakat saat itu. Pada era ini terjadi konflik internal yang memecah
kepengurusan NW ke dalam dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW Anjani
yang diawali dari muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah. Di era reformasi, NW
menemukan momentumnya dimana pejabat-pejabat publik strategis baik di
eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh kade-kader NW. Di era
inilah dakwah NW lebih berkembang dengan intensitas peran yang lebih luas di
sektor sosial dan politik.
D. NAHDLATUL WATHAN DALAM DIMENSI GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (SOCIAL AND RELIGIOUS MOVEMENT)
NW memiliki peran penting di
dalam mendorong terjadinya perubahan keagamaan masyarakat Islam, dari Islam
Sinkretis seperti Wetu telu menuju Islam Paripurna (Islam Kaffah). Hal
ini NW menempuh tiga mekanisme dakwah untuk bisa merubah pemahaman dan praktek
keberagamaan masyarakat Islam NTB:
Pertama, Melalui Pendidikan
Kemadrasahan dan Gerakan Kemasjidan
Gelar
yang melekat pada pendiri NW dengan sebutan Abu al-Mâdaris wa al-Masâjid, Menunjukkan
bahwa peran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul madjid dalam membangun sarana ibadah di pelosok-pelosok
kampung sangat besar. Sebab semangat keberagamaan masyarakat tidak akan terbina
tanpa ada bimbingan dari para tokoh yang mereka jadikan sebagai panutan.
Tercatat dalam agenda kerja TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid bahwa masjid yang beliau bangun bersama masyarakat
lebih dari seribu masjid yang beliau langsung meletakkan batu
pertamanya.[12] Ini artinya organisasi NW telah berkiprah dalam mengembangkan semangat keberagamaan melalui sentral
kegiatan keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat yang lazim disebut masjid,
di mana masjid sebagai icon suatu masyarakat dalam segala riualitas keagamaan
bahkan sosial. [13]
Kedua, pengajaran keagamaan dengan mengadakan
dakwah keliling yang lazim disebut oleh warga NW dengan Majelis dakwah Hamzanwadi dan majelis ta’lim NW. Majlis Dakwah Hamzanwadi yang langsung dibawah asuhan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid, telah menyebar ke
seluruh polosok Bumi Gora NTB, sehingga tidak sedikit di
mana ada majelis dakwah Hamzanwadi di situ berdiri
lembaga pendidikan dari tingkat yang paling dasar bahkan sampai ke jenjang
perguruan tinggi. Sedangkan majelis ta’lim NW merupakan
wahana kaderisasi yang dilakukan oleh seluruh abituren atau alumni NW yang
secara keahlian telah mampu mengemban amanat organisasi NW yang secara spesifik
telah dikader lansung oleh pendiri NW TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Dengan adanya dua majlis NW ini telah
membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi yang sangat intent membangun
sumber daya manusia yang siap membangun NTB khususnya dan Indonesia secara
umum.
Ketiga, Gerakan Penyebaran
Kader-kader NW ke Pelosok Nusantara.
Kaderisasi yang dilakukan oleh
pendiri NW selama ini sangat efektif dan strategis, sebab kader yang
diorientasikan menjadi Anjumi Nahdlatil Wathan, bintang-bintang
pergerakan tanah air telah banyak berkiprah di pelosok nusantara ini.
Kaderisasi utama yang
dilakukan oleh pendiri NW ini adalah melalui pendidikan, khususnya Pendidikan
yang dibina langsung oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yaitu Ma’had Darul Qur’an wa al-Hadist
al-Majidiyyah Assyafiiyyah (MDQH) yang secara khusus mengadopsi
sistem kuliah ala Madrasah as-Shaulatiyah Makkah al-Mukarramah. Dengan sistem
ini dapat melahirkan ratusan alumni yang setiap tahun di lepas oleh Pendiri NW
dan pelanjutnya, untuk disebar ke berbagai daerah. Sehingga dengan sistem ini
NW telah berkembang di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Pulau Jawa, Jaya Pura,
dan lain-lain. Ini tidak terlepas dari peran alumni Ma’had yang telah dikader
oleh Pendiri NW untuk menyebarkan misi Izzil Islam wa al-Muslimin.
Kesuksesan NW dalam
pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social
capital) yang dimiliki oleh organisasi Nahdlatul Wathan:
Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh
organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya
NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.
Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat
baik secara internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi
pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan lainnya.
Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang
terbentuk secara alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan Nahdlatul Wathan.[14]
NW sebagai organisasi yang
bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pembaharuan sistem keagamaan di NTB.
E. NAHDLATUL WATHAN DALAM RANAH PEMBANGUNAN SUMBER DAYA
MANUSIA (HUMAN RESOURCES DEVELOPMENT) MELALUI GERAKAN
PESANTREN
NW adalah sebuah organisasi
yang berorientasi pada bidang pendidikan, sosial, dan dakwah islamiyah. Inti
perjuangannya adalah berupaya mengembangkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Perjuangan ini menjadi sangat strategis, karena pembangunan di
bidang SDM dapat terefleksi dalam bidang-bidang pembangunan lainnya. Artinya,
Kesuksesan di bidang-bidang pembangunan sangat bergantng pada kualitas sumber
daya manusia.[15]
Sebagai gambaran awal peran
NWDI-NBDI yang disebut oleh pendirinya, Dwi Tunggal Pantang Tanggal,[16] dalam mencetak SDM yang kemudian hari
nanti menjadi motor penggerak pembangunan sosial keagamaan di wilayah NTB ini.
Out put dari madrasah NWDI pada priode awal menjadi pelanjut dan pengembang
dari visi, misi dan perjuangan pendiri NWDI-NBDI yang nantinya dua madrasah
tersebut menjadi embrio lahirnya Organisasi Nahdlatul Wathan.
Untuk sekedar menyebut
tokoh-tokoh agama yang telah berkiprah banyak
dalam pembangunan di NTB yang merupakan produk madrasah paling awal di
NTB ini.
Secara periodenisasi dari tahun
ke tahun, TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid memberikan peranan
penting dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai
berikut:
Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI
tahun 1934-an antara lain TGH. Mu’thi Musthafa pendiri pondok pesantren
al-Mujahidin Manben Lauq Lombok Timur,
Ust Mas’ud Kelayu, Abu Mu’minin, sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an
yang terkenal antara lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren Darul
Muhajirin Praya, TGH. L. Muhammad Faishal Pendiri Pondok Pesantren Manhal al-Ulum, Praya, merupakan satu-satunya murid beliau yang diberi tugas dan
amanat untuk menjadi ketua NU di Lombok, sehingga NU
masuk ke Lombok tidak terlepas dari peranan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, Muhaddits Abdul
Haris, Rais, Amrillah, Salim, Abdurrahman, Nursam, Abdul Samad, kemudian
alumni-alumni ini mendirikan madrasah pertama di Praya, madrasah Nurul Yakin,
pada tahun 1943, di mana pengelolanya dipimpin oleh TGH. Muadz Abdul Halim dan Pembinanya TGH. Najamuddin Makmun,
berikutnya Raden Tuan Sakra Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Sakra, Ust Yusi Muhsin dan angkatan ketiga sekitar
tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh Ponpes Darunnahdlatain Pancor,
TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan berikutnya sekitar 1950-1955
Yaitu Syeikh M. Adnan kini menjadi syeikh di Madrasah
al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, juga TGH. Zainal Abidin Ali, pendiri pondok Pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.[17]
Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun
1955-1960-an terkenal pada era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok
pesantren al-Mukhtariyah Mamben, TGH. M.Zainuddin Mansyur, MA. TGH.
Zaini Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra Pendiri Ponpes Manbaul Bayan
Sakra, Sedangkan angkatan keenam sekitar tahun 1960-65-an TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc pendiri Ponpes Dar al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri Ponpes Islahul Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH.
M.Salehuddin Ahmad, pendiri Ponpes
Darusshalihin NW Kalijaga,
TGH. Ahmad Muaz, pendiri Ponpes Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri Ponpes
Nurul Haramain NW Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri Ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang dan lain-lain.
Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak
yang lahir dari angkatan terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dan sekaligus kader-kader ini dijadikan
sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus sebagai
penerus pasca meninggalnya Syeikh Zainuddin pada tahun 1997 antara lain, TGH.
Mustamiudin Ibrahim pendiri Ponpes Suralaga, TGH. Habib
Thanthawi, pendiri Ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin,
Pendiri Ponpes Islahul Ummah NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M. Ruslan Zain An Nahdli pendiri Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok
Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri Ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada,
TGH. Tajuddin Ahmad pendiri Ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L.
Anas Hasyri pendiri Ponpes Darul Abror NW Gunung Raja’ Rensing, TGH. M.Yusuf
Ma’mun pendiri Ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi Najamuddin pendiri Ponpes Raudlatutthalibin
Pao’Motong Masbagik, TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri Ponpes Unwanul Falah
Pao’ Lombok dan ratusan pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan
oleh alumnus-alumnus pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah
bimbingan TGKH M. Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun
dalam hitungan Hijriyah dan 98 tahun dalam hitungan masehi[18]
Rintisan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid dengan
orientasi baru, muncul TGH. Musthafa Khalidi dan TGH. Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok Pesantren Al-Islahuddiny
Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren inilah yang kemudian
mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal menuju sistem
klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid Pancor Lombok Timur. Pondok
Pesantren ini merupakan pesantren pertama yang
mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru
disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya.
Potret ini menggambarkan bahwa kontribusi organisasi NW di bawah komando
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah secara langsung memberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya
manusia NTB yang tidak sedikit dari alumni-alumni NW telah berkiprah banyak
dalam pembangunan bangsa dan negara.
Gerakan
Pondok Pesantren dalam
mengembangkan semangat sosial keberagamaan di NTB tercermin dalam banyaknya Pondok Pesantren NW yang berkiprah bukan saja pada
aspek pendidikan saja tapi bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya.
Data Pondok Pesantren yang ada di
Lombok NTB dengan komposisi, Pondok Pesantren di Kota Mataram berjumlah, 22
buah, Lombok Barat, 77 buah, Lombok Tengah 80 buah, Lombok Timur 114 buah.[19] Secara kuantitatif pondok pesantren tersebut berafiliasi ke
organisasi Nahdlatul Wathan. Ini artinya separuh dari lembaga-lembaga
pendidikan dan lembaga sosial keagamaan di NTB didominasi oleh Organisasi NW
yang secara otomatis lembaga tersebut berkontribusi terhadap pengembangan
pendidikan, sosial dan kemasyarakatan di NTB
F. NAHDLATUL WATHAN DAN INOVASI-INOVASI BARU DALAM RANAH SOSIAL
KEAGAMAAN
Dalam kaidah ushul fiqh, dan menjadi
spirit dalam pengembangan Pondok Pesantren dewasa ini, disebutkan: Al-Muhâfazhah ala al-Qadîm al-Shâlih wa
al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah, memelihara dan merajut tradisi-tradisi yang
lama dengan tetap mengadopsi sesuatu yang kontemporer yang dianggap relevan. Makna dari kaidah itu telah direalisasikan secara luas oleh organisasi NW dengan membuat sesuatu yang baru atau suatu yang lama
dalam format yang berbeda. Inovasi-inovasi ini jelas mendapatkan ragam
tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat, tapi NW tetap mengorbitkan
inovasi-inovasi yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat. Di antara
inovasi-inovasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Semangat Beramal:
Melontar Dengan Uang
Ada tradisi yang dikembangkan oleh pendiri NW TGKH. M. Zaenuddin Abdul Madjid yang tidak lazim dilakukan oleh tuan guru-tuan
guru yang lain yaitu tradisi melontar dengan uang di saat akan berakhirnya
pengajian yang dipimpin langsung oleh beliau atau oleh wakil. Tradisi
ini substansinya adalah mengajak masyarakat secara sukarela mengeluarkan harta
yang dimilikinya berupa uang dari uang pecahan puluhan rupiah
sampai ribuan rupiah. Tradisi ini berpijak pada tradisi Nabi
Muhammad SAW di saat mengajak para sahabat untuk menyumbangkan sebagian harta
yang dimilikinya untuk membantu para sahabat dalam medan perjuangan. Para
sahabat secara sukarela mengeluarkan harta bendanya sesuai yang diharapkan Nabi. Tradisi ini
dikonkritkan oleh NW dengan format yang berbeda sesuai keadaan dan karakteristik
masyarakat Lombok khususnya masyarakat
kelas bawah yang secara esensial hanya dengan sistem ini mereka bisa mengeluarkan infaq sadaqah kepada perjuangan NW yang
mungkin merasa malu untuk mengeluarkan uang yang nominalnya sangat sedikit,
sehingga dengan sistem melontar diharapkan masyarakat tumbuh
semangat untuk berkorban demi kepentingan umat yang lebih banyak.
2. Semangat Berdoa: Hizib Berjama’ah
Hizib merupakan kumpulan bacaan yang terdiri dari sejumlah ayat, hadits dan
doa-doa. Hizib ini merupakan
kekuatan spiritual khas dan paling otentik dalam tradisi masyarakat Nahdlatul
Wathan. Kekuatan magnet hizib
tidak lain berkat sosialisasi
yang sangat inten dari pendiri NW sekaligus perumus hizib sendiri.[20]
Awalnya hizib tersebut merupakan catatan kumpulan doa-doa yang diamalkan
secara pribadi oleh Maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid. Kemudian disebarkan pada
rekan-rekannya dan santri-santrinya di lingkungan madrasah dengan nama ''doa
Nahdlatul Wathan'' yaitu pada akhir tahun 1360 H/1941 M, dengan harapan semoga
Allah SWT menjaga kesinambungan madrasah NWDI yang didirikan. Jadi ada korelasi
antara lahirnya doa-doa tersebut dengan permohonan keselamatan program dakwah
lewat jalur pendidikan yang dirintis itu.
Dengan ketulusan pribadi mengamalkan doa-doa tersebut, yang juga diikuti
oleh murid-muridnya di NWDI dan NBDI maka cepat tersiar doa tersebut kelapisan
masyarakat, lebih-lebih setelah berbagai macam ujian dan cobaan pada masa awal
pertumbuhan madrasah tetap tertanggulangi, maka secara otomatis khasiat doa-doa
tersebut makin diyakini oleh masyarakat NW. hingga kemudian setelah lebih dua
dasawarsa menjadi hizib yang tercetak dan lebih mudah bagi siapa saja untuk
membacanya. Kutipan panjang berikut mengisahkan kronologisnya:
Maka sudah
lebih dua puluh tahun lamanya hizib NW mendengung di dunia madrasah NW Diniyah
Islamiyah di pulau Selaparang (Lombok) ini, yaitu mulai dari sejak beberapa
bulan dari pendaratan tentara Jepang (Nipon) di pulau Jawa dengan ganasnya yang
mengakibatkan Madrasah-madrasah (sekolah agama) di seluruh kepulauan Indonesia
lebih dari enam puluh persen (60%) gulung tikar atau digulung langsung oleh
Jepang atau oleh kaki tangan Jepang (pengkhianatan nusa bangsa, tanah air dan
agama). Setelah berdirinya madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (madrasah
kaum hawa) pada 21 April 1943, disusun pula Hizib Nahdlatul Banat yang didengungkan
pagi–sore oleh kaum hawa. Setibanya Jepang di daratan Lombok, alhamdulillah
para pelajar NWDI dan NBDI sudah setia setiap saat dengan hizib mereka, yang
mengandung beberapa ayat Allah, Hadits-hadits Rasulullah SAW dan beberapa as'ma
Allah, maka dengan limpah pertolongan Rabbul alamin dan dengan
berkah-berkah Asror (rahasia-rahasia) kedua hizib yang diwiridkan
(amalkan) pagi-sore itu, kedua Madrasah itu selamat (terpelihara) dari pada
keganasan ancaman Jepang dan ancaman kaki tangan Jepang sekalipun berkali-kali
mereka datang di Pancor (madrasah) bermaksud menutup (membubarkan) madrasah
tersebut, Walakin Yadullah Fauqo aidihim, selanjutnya selamat pulalah
kedunya dari kekejaman ancaman NICA
akibat penyerbuan guru-guru madrasah NWDI serta beberapa muridnya pada kubu
pertahanan NICA di Selong yang membawa bukti sabil (syahidnya) saudara
kandung kami Ustadz Haji Muhammad Faishal Abdul Madjid yang menjelmakan taman
bahagia di Selong.
Pada malam
Jum'at Nisfu Sya'ban tahun 1363 H/1944 M telah kejadian kebakaran umum di
seluruh gubuk Bermi (kampung tempat berdiamnya NW dan Nahdlatul Banat),
alhamdulillah kedua madrasah tersebut serta rumah-rumah pembangunannya
terpelihara sekalipun kampung tersebut menjadi lautan api dan semua rumah-rumah
(bangunan-bangunan) sekitarnya habis menjadi abu. Dzalika fadlullahi
Yu'tihi man yasya' wallhu dzul fadlil
'adzim. Demikian seterusnya pada masa-masa yang lampau selalu kedua umm
al-madâris (Nahdhatul Wathan dan Nahdhatul Banat) ditimpa oleh
bermacam-macam malapetaka, fitnahan dan hasutan, tetapi tuhan Allah tetap
melindungi. Penduduk Pancor sendiri sama mengetahui berbagai macam peristiwa
ajaib yang bersejarah itu kecuali mereka yang buta mata hatinya atau pura-pura
buta tuli bisu (summum bukmun 'umyun), atau memang sengaja ingin
mengabai jalannya perkembangan sejarah kedua madrasah tersebut. Itulah
madrasah NW dan madrasah Nahdlatul Banat beserta hizib NW dan hizib Nahdlatul
Banat, oleh kedua hizib ini sudah tersiar di sana-sini dengan meluasnya,
terutama setelah diresmikan berdirinya organisasi Nahdhatul Wathan pada hari
Ahad 15 Jumadil tsani 1372 H/1 Maret 1952 M, maka bertambah pesatlah tersiarnya
sampai di luar daerah Lombok di mana cabang NW berdiri.[21]
Tepatnya pada tahun 1962 untuk pertama kalinya Hizib tersebut berhasil
dicetak. Hal ini mengingat banyaknya permintaan khususnya dari keluarga besar
NW untuk lebih mudahnya mengamalkan hizib tersebut.
Tradisi membaca hizib memang merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di
kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah di manapun berada dan berlabel organisasi
keagamaan apapun juga. Hizib-hizib sebenarnya adalah do'a-doa biasa, namun
karena diciptakan oleh ulama terkenal maka menjadi terkenal dan disukai oleh
banyak orang. Dalam kaitan ini hizib yang disusun oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah karya orisinilnya, meskipun tentu mengutip banyak doa dari ulama terdahulu, disebut-sebut
merupakan kumpulan doa-doa 70 auliya' yang diramunya dan disajikan dalam bentuk baru.
Bacaan hizib dapat dilakukan secara sendiri atau berjama'ah. Apabila
sendiri maka sebelum pada bacaan inti terlebih dahulu membaca fatihah tiga kali
dengan niatnya dan membaca shalawat yang enam, baru membaca hizib dan berdoa.
Adapun jika hizib dibaca secara berjama'ah misalnya pada malam jum'at maka tata
caranya sebagai berikut :
1. Membaca fatihah tiga
kali, dengan niat masing-masing ditujukan kepada: a) Nabi Muhammad SAW, Nabi
yang lain dan seluruh keluarganya berikut para sahabat. b) penyusun hizib maulanasyeikh
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, silsilahnya ke atas dan orang yang mencintainya. c)para auliya', ulama', guru-guru, dan kaum nahdliyyin dan
nahdhliyyat dan muslimin muslimat.
2. Membaca surat Yasin
sekali oleh masing-masing hadirin
3. Membaca shalawat
Nahdlatain, sekurang-kurangnya 10 kali, lalu membaca shalawat lima lainnya
masing-masing sekali, yaitu a) shalat al-Fatih, b) shalat an-Nariyah, c) shalat
al-Thib, d) shalat al-aliyyil Qadri, e) shalat miftahi babi rahmatillah.
4.
Membaca hizib
5.
Membaca qasidah al-munfarijah dst
sampai doa sulthanula auliya' syiekh Abdul Qadir Jaelani, ayudrikuni dhaimun…
6.
Doa penutup. Dari teks yang
dilengkapi tata cara tersebut lebih-lebih lagi karena sosialisasi yang sangat
inten, maka kini tradisi hiziban masyarakat pesantren NW menjadi sangat meluas.
3.
Semangat Berulang Tahun: Hultah NWDI
Istilah HULTAH dipopulerkan oleh organisasi
NW yang semakna dengan istilah yang dipopulerkan oleh ormas-ormas Islam
lainnya, seperti Milad, Harlah, Dies Natalies, Haul, dll. Kata hultah
sebenarnya diambil dari bahasa Arab, Hâla, Yahûlu, Haûlan, yang berarti
keadaan yang sudah sampai setahun, atau sesuatu yang genap setahun, kemudian
ditambahkan dengan Ta’ mukhatab, menjadi Hulta, yang berarti
engkau merayakan hari yang ke setahun, kemudian ditambahkan Ha’ dhamir,
kata ganti orang pertama tunggal menjadi
Hultahu, diwakafkan menjadi Hultah. Referensi Ha’ itu
ke yaum milad sehingga menjadi
hultah, yang secara umum diartikan engkau merayakan hari kelahirannya.
Istilah HULTAH NWDI pertama kali
dikenal pada ulang tahun NWDI ke-15 pada tahun 1952. awalnya hanya berbentuk
tasyakkuran, yang diisi dengan pengajian singkat dan diakhiri dengan acara
makan bersama (begawe/begibung/-Bahasa Sasak). Dalam perkembangan
selanjutnya, HULTAH NWDI ini dijadikan sebagai acara pengajian tahunan
pendirinya dan media silaturrahmi dan komunikasi antaralumni (abituren) dan
jamah NW di seluruh Nusantara
serta dihadiri oleh pejabat dari instansi pemerintah, baik lokal maupun
nasional, bahkan juga undangan dari negara-negara sahabat dan perwakilan
badan-badan internasional seperti WHO, UNICEF, dan lain-lain.
Hari ulang tahun atau biasa disebut
oleh masyarakat NW dengan
sebutan Hultah. Hultah merupakan hari ijtima' nasional yang diselenggarakan
oleh dewan pengurus Besar NW. Peringatan
Hultah dan istilahnya merupakan inovasi baru bagi organisasi NW dalam membangun
kesadaran dan semangat bersama dalam memperingati nilai-nilai perjuangan yang
telah dirintis dan dikembangkan oleh Pendiri NW, sehingga Hultah menjadi urgen
jika dikemas sesuai dengan tuntutan awal diselenggarakan peringatan tahunan
bagi warga NW, dan ini membuktikan NW memberikan sumbangsih yang tidak sedikit
dalam bidang pengembangan sosial keagamaan di NTB ini.
4. Tradisi Syafa’ah Al-Kubro
Banyak istilah yang dikembangkan oleh
organisasi lain seperti, Istighosah, Ratiban, Zikiran, dan lain-lain. Tradisi
ini sebetulnya telah dikembangkan oleh ulama'-ulama terdahulu, tapi yang
berbeda mungkin masalah istilah yang
dipergunakan. Kalangan masyarakat pesantren NW istilah zikir yang
dilakukan secara berjama'ah di saat pengajian, atau hajatan keluarga yang telah
meninggal dunia, diistilahkan dengan syafa'ah dan istilah ini menurut penulis, menjadi term
sosial yang berkembang di NTB karena dikembangkan oleh NW. dengan
demikian pengembangan sosial keagamaan dalam aspek-aspek tertentu sangat didomisasi oleh organisasi NW.
Secara etimologi maupun terminology
kata syafa'ah bermakna memberikan pertolongan dengan membacakan
do'a-do'a yang diniatkan kepada apa yang dihajatkan oleh sohib al-hajah
(yang mengundang untuk melakukan kegiatan hajatan). Tradisi syafa'ah ini
terus-menerus dikembangkan oleh warga NW sebagai wasilah zikir sekaligus ajang silaturrahim antar sesama muslim atau dalam sekala
besar tradisi syafa'ah dijadikan sebagai sarana untuk beramal jariah bagi
kalangan masyarakat NW.
Adapun prinsip dasar pelaksanaan syafa'ah atau zikir secara berjamaah
dalam konsep Islam tidak perlu diperdebatkan kembali cara dan istilah yang
digunakan, sebab masing-masing ulama, khususnya kalangan ulama ahlussunnah wal
jamaah secara ijma' mengatakan bahwa zikir berjama'ah itu termasuk sunnat
yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Hanya
saja yang masih diperdebatkan
mengenai tata cara zikir itu sendiri.
Kalangan masyarakat pesantren NW, tradisi syafa'ah dilakukan secara berjamaah
dan suara jahar (nyaring).
5. Semangat Emansipatoris:
Pendidikan Untuk Kaum Perempuan
Ada
beberapa lembaga yang secara khusus membina dan mendidik kaum perempuan di
Lembaga NW;
Pertama,
Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah, madrasah yang
didirikan pada era penjajahan Jepang, 15 Rabi’ al-Akhir 1362 H/ 21 April 1943.
madrasah inilah, madrasah pertama di NTB yang mencetuskan pendidikan untuk kaum
perempuan yang sebelumnya tidak pernah dirintis oleh para tuan guru-tuan guru
yang lain. Jadi NW dapat dikatakan sebagai pelopor emansipatoris bagi kaum
perempuan yang mensejajarkan antara laki-laki dalam aspek mendapatkan hak dan
kewajiban untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Alumni-alumni
NBDI dapat mendorong terciptanya lembaga-lembaga keperempuanan di tingkat
kabupaten di Lombok, seperti, Madrasah Sullam al-Banat di Sakra,
Madrasah al-Banat di Wanasaba, Madrasah Is’af al-Banat di Perian,
Madrasah Sa’adatul Banat di Praya, Madrasah Tanbih al-Muslimat di
Praya,dll. Ini membuktikan bahwa peranan NBDI yang kemudian dikoordinasikan
dalam Organisasi NW telah memberikan kontribusi nyata dalam mengangkat harkat
martabat perempuan NTB. Kiprah perempuan NTB jelas memberikan nuansa baru dalam
aspek pembangunan sosial keagamaan di tengah komunitas mereka
masing-masing.
Kedua,
Madrasah Muallimat 6 Tahun, yang didirikan pada tahun 1957, madrasah ini
diorientasikan untuk menjadi guru-guru agama di madrasah-madrasah yang
didirikan oleh NW dan pemerintah. Kontribusi nyata dari Madrasah Muallimat ini
adalah lahirnya srikandi-srikandi NW yang siap berjuang melawan kebodohan dan
kesenjangan sosial di tengah masyarakat, dan tidak sedikit dari kader-kader
muslimat NW yang berkiprah dalam segala bidang dan keahlian.
Ketiga,
Ma’had lil Banat, Perguruan Tinggi yang khusus untuk kaum
perempuan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid pada tahun
1974 M. Lembaga ini merupakan lembaga yang secara kurikulum mengacu pada
kurikulum Madrasah as-Saulatiyyah Makkah di mana TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dulu
menuntut ilmu, sehingga Ma’had lil Banat ini dijadikan sebagai lembaga yang secara khusus mengkaji kitab-kitab
klasik ala madrasah Saulatiyyah dengan sistem belajar khalaqoh (duduk bersila),
dan lembaga ini dibentuk dalam tiga tingkatan. Kiprah alumni Ma’had Lil
Banat ini dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB secara umum telah
menyebar ke seluruh pelosok tanah air sembari mengemban amanat ke-NW-an dan
ke-Islam-an. [22]
EPILOG
Sebagai sebuah organisasi, NW telah
mengambil peran yang sangat besar terhadap pengembangan kualitas umat di NTB,
baik kualitas spiritual, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, bahkan politik.
Bahkan NW tidak hanya menjadi lokomotif bagi
perkembangan umat, tetapi juga menjadi perekat sosial dalam keragaman
masyarakat NTB khususnya dan masyarakat Indonesia secara nasional.
Kesuksesan NW dalam pembangunan
sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social capital)
yang dimiliki oleh organisasi NW;
Pertama, Norma dasar yang
dimiliki oleh organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin
pada pokoknya NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.
Kedua, adanya hubungan dan
kerjasama yang kuat baik secara internal dengan warga NW, maupun secara
eksternal dengan institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga
sosial keagamaan lainnya.
Ketiga, kuatnya rasa
kebersamaan warga NW yang terbentuk secara alamiah melalui ritual dan
kegiatan-kegiatan NW.
Dengan demikian, tak salah
jika kita menyebut NW sebagai
organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dalam arti luas di Nusa Tenggara Barat
[1]Lihat Ritzer George, Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj), (Jakarta: CV Rajawali,
1998)h.30..lihat kutipannya juga dalam Abd Aziz (Peny.), Gerakan Islam
Kontemporer di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) h.66.
[2]Konsep organisasi di kalangan para ahli
sosiologi dan antropologi secara umum mengatakan bahwa organisasi pada
prinsipnya memiliki dua dimensi penting, pertama adalah organisasi sosial dan
kedua dikatakan sebagai struktur sosial. Organisasi sosial termasuk di dalamnya
organisasi keagamaan seperti NU, NW, Muhammadiyah, di mana para ahli kerap kali
menyamakan begitu saja kedua konsep ini. Padahal organisasi sosial cendrung
digunakan secara longgar untuk merujuk kepada penjumlahan total
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu. Sedangkan
struktur sosial biasanya dipergunakan ntuk merujuk konteks sosial itu sendiri,
atau lebih tepatnya bagi seperangkat
hubungan sosial yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam
masyarakat. (lihat, Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006)h. 170
[4]Karel A.Steenbrink membagi sejarah Islam
di Indonesia kepada tiga periode: pertama, sejak masuknya Islam sampai abad ke
-17, kedua, abad pertengahan (awal VOC) sampai abad ke-19, ketiga, abad ke-20
sampai sekarang. Lihat,
Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan,
(Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),h.155.
[5] Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI
Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70, (Jakarta: Nimas Multima, 1997)h.1
[6]Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni,
NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: eLSAS, 2004),h.118, lihat juga Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan Nahdhlatul Ulama, (Solo: Jatasu Sala, 1985) h.25. lihat juga
buku Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, (Jember : Masjid Sunan
Kalijaga, 2004) h. 15.
[7] Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan
Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi
Sampai Tradisi, (Bandung : Rosda Karya, 2001),h. 91
[8] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:
Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
270
[9]Secara redaksional ungkapan ini telah lama
dicetuskan oleh Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Moral Politik Santri: Agama
dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta: Erlangga, 2003)h. 18, dengan ada
penambahan penjelasan dari penulis dengan memasukkan organisasi NW yang berbasis
masa Islam terbesar di NTB, di mana secara
prinsip ada kesamaan dengan
dua organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.
[10] Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan
Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1,
h. 305. lihat juga, Abdul Hayyi Nu'man & Sahafari As'ary, Organisasi NW Di
Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah, (Pancor : Toko Buku
Kita)1984, cet.1.h.12.
[11]Madrasah al-Sa’adah di Kelayu, 1942,
Madrasah Nurul Yaqin, Praya, 1942 Madrasah Nurul Iman, di Mamben, 1943,
Madrasah Shirat al-Mustaqiem, di Rempung 1943, Madrasah Hidayatul Islam di
Masbagek, 1943 Madrasah Nurul Iman di Sakra, 1944, Madrasah Nurul Wathan di
Mbung Papak, 1944, Madrasah Tarbiyah al-Islam, di Wanasaba, 1944, Madrasah
Fari’iyyah di Pringgasela, 1945. (lihat, Muh. Nur, dkk, Visi…h.189)
[12]John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa
bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid'' yang
mungkin meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau
tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah
tempat Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana
pada umumnya agak kaku dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan
daerah lain di negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. dalam edisi bahasa
Indonesianya; Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 2001), cet. 1, h. 86.
[13]Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok
Barat dengan jumlah masjid 829, Lombok Tengah
1.229 masjid, Lombok Timur, 1.574
masjid, Kota Mataram 225 masjid.
[15]Perkembangan pesantren mengalami perubahan
sistem pada era 1930-an perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali
oleh tokoh kharismatik TGKH M.Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren
Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren tersebut dibubarkan oleh penjajah
Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah dibubarkan tapi dalam
aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul
Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan
madrasah yang bernama NW Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356
H bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M
khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah
(NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21 April 1943 M khusus untuk
putri dan inilah madrasah pertama di daerah
Lombok yang menggunakan pengajaran sistem klasikal.[15] Dari dua
madrasah inilah sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar
di NTB yang bernama organisasi NW (NW) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 M
bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki cabang diseluruh daerah
Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan di lingkungan organisasi didirikan
pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.
[16]Istilah ini dipopulerkan oleh Maulana
Syeikh Muhammad Zainuddin untuk menjelaskan bahwa eksistensi dua madrasah ini
akan tetap berjaya dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Istilah ini mencerminkan
komitmet yang kuat bagi pendirinya untuk tetap berjuang membela prinsip yang
menjadi acuan dalam berjuang mengembangkan amanat agama melalui pendidikan
madrasi yang awal mulanya mengalami tekanan dan rintangan dari segala penjuru,
namun prinsip yang beliau pegang teguh adalah dua madrasah ini menyatu dalam
satu prinsip yang tak akan bisa pudar dan hancur.
[17] Lihat, Fahrurrozi, Eksistensi Pondok
Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang
Pendidikan, Sosial dan Dakwah, (Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004), h. 189,
(Tesis tidak dipublikasikan), Lihat juga, Eksistensi Pondok Pesantren di NTB,
dalam jurnal Pesantren Studies, (Jakarta: Depag RI, 2008), h. 34
[18]Fahrurrozi, Eksistens... h. 189,
Lihat juga, Eksistensi Pondok....h. 35.
[20] Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola
Dakwah TGKH. M. Zaenuddin Abdul Majid, Laporan Penelitian,1999, h.86.
[21]Teks aslinya tertulis dengan huruf Melayu Arab. Lihat Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Hizib
NW wa hizib Nahdlatul Banat, Pancor: Toko Buku Kita, cet.ke-74, tt,
h.35-34. Naskah hizib ini dicetak ulang hampir tiap tahun dan merupakan teks
yang paling banyak beredar di kalangan warga NW.
[22] Semangat
Perjuangan: eksplorasi prinsip-prinsip
perjuangan TGH.Zainuddin dalam gubahan syairnya. Semangat kebangsaan.
semangat kebangsaan TGH. Muhammad Zainuddin dalam menakhodai NW tercermin dalam
ungkapan syairnya:
انت يا
فنجور بلادى انت عنوان الكمال الخ
وطنى روحى
فداء لك من كل الضلال
Semangat
primordialisme:
هيا غنوا
نشيدنا يا فتى ساسك باندونسيا بلغ الايام
والليالي نحن اخوان الصفا كلنا على الوفا
نستعد بحزبنا يحي
Semangat kepemudaan:
نحن فتيان العلوم كل يوم لا ننوم
امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمين الخ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar