Oleh : LALU MUHAMMAD IQBAL, MA Ketua
Program Studi Tafsir Hadis UNW Mataram
Pengurus
Ponpes Al-Hamidiyah Kediri Lombok Barat
"Tuhan
menciptakan dunia, Manusia membuatnya lebih indah
Apakah
manusia ditaqdirkan untuk menjadi saingan Tuhan?
Kau
ciptakan malam, aku ciptakan lentera
Kau
ciptakan lempung, aku ciptakan cawan
Akulah
yang membuat batu menjadi cermin
Akulah
yang mengubah racun menjadi obat
Kebesaran
manusia terletak pada daya ciptaya
Bulan
dan bintang hanya mengulang
Kewajiban
yang ditetapkan atasnya"
(Muhammad
Iqbal)
1. Pengantar
Sebagian
masyarakat India telah mengenal sistem keagamaan dengan berfikir secara
filosofis.[1] Mereka
telah terbiasa berfikir tentang Tuhan, jagad raya dan diri manusia sendiri.
Sistem keagamaan India tidak memberikan batasan yang pasti dalam konsep
ketuhanan. Itulah sebabnya sebagian masyarakat India biasa menempuh pemikiran
spekulatif, yang cenderung untuk selalu menciptakan konsep-konsep yang
berhubungan dengan Tuhan, jagad raya dan manusia.
Konsep pemikiran yang dibawa oleh
filsafat India pada umumnya memberikan pengaruh dan merangsang pemikiran umat
Islam. Di antara filosof Islam yang terpengaruh dengan filsafat India adalah
al-Razi dengan filsafat atomnya. Begitu juga filsafat Ibn ‘Arabi sebagaimana
yang tampak dalam karyanya Fusul
al-Hikam.[2]Terdapat sejumlah
nama pemikir- Islam yang lahir dari India, yang hal ini mungkin tidak bisa
dipisahkan dari adanya tradisi berfikir filosofis di sana. Di antara mereka
terdapat sosok seorang pemikir yang ulung, yang bernama Muhammad Iqbal. Dia
adalah sosok pribadi yang kompleks, pemikir, politikus, sufi dan juga seorang
filosof. Iqbal juga dipandang sebagai salah satu pemikir India terpenting pada
masa peralihan abad ini. Namun dari sekian banyak buah pikirannya, dalam
makalah ini yang menjadi perhatian adalah filsafatnya tentang Tuhan dan Khudi.
2. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir di Sialkot (Punjab), wilayah Pakistan (Sekarang) pada tanggal 9
November 1977 M.[3] Iqbal
berasal dari keluarga terpandang da taat beragama. Ayahnya merupakan figur
terpelajar dan progresif untuk ukuran masyarakat pada zamannya. Nenek moyangnya
berasal dari kasta Brahmana Kasymir yang
telah memeluk agama Islam kira-kira 300 tahun sebelumnya.[4]
Iqbal menempuh pendidikan dasarnya di
Murray College Sialkot, dan beruntung sekali, disini dia memiliki seorang guru
ulama besar Mir Hasan yang sejak pagi-pagi benar dari kehidupannya telah
memompakan air agama kedalam rongga-rongga jiwanya. Sejak di Sialkot ini pula
Iqbal telah kelihatan gemar sekali mengubah syair-syair dalam bahasa Urdu. Pada
tahun 1895 dia pindah ke Lahore untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi pada
Government College. Di sini dia berada di bawah pengaruh Sir Thomas Arnold,
pengarang The Preaching of Islam yang
terkenal itu. Sarjana inilah yang mula-mula memperkenalkan Iqbal pada filsafat
Barat, sehingga memperoleh gelar Master of Art (MA).
Setelah menyelesaikan studinya, Iqbal
diagkat menjadi staf dosen pada perguruan tinggi pemerintah (Government
College), tetapi karir sastranya selalu membayanginya pada semua aspek
kerjanya.[5] Dia
sangat sibuk menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah, dan segera
kemasyhurannya tersiar sebagai penyair yang hebat dari Punjab.
Tahun 1905, atas nasehat Sir Arnold,
Iqbal berangkat ke Inggris untuk memperdalam filsafat Barat di Trinity College
Universitas Cambridge. Di samping itu ia juga rajin menghadiri kuliah-kuliah
hukum di Lincoln’s Inn, London. Dua tahun kemudian pindah ke Universitas Munich
Jerman untuk sebuah penelitian dimana dia berhasil mempersembahkan disertasinya
yang berjudul The Development of
Metaphysics in Persia sehingga memperoleh gelar Ph.D di bidang filsafat.[6]
Tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore
dan membuka praktek sebagai pengacara disamping menjadi guru besar di bidang
filsafat dan sastra Inggris pada Government College.
Selama tiga tahun di Eropa, alam
pikiran Iqbal sudah meluas dan mendalam. Ini bukan semata-mata karena
kuliah-kuliah dari Universitas Cambridge, tetapi juga karena kegairahannya
sendiri dalam menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan yang tersembunyi dalam
aneka macam buku dari perpustakaan-perpustakaan di London dan Munchen.
Pengalaman hidupnya di Barat
memungkinkan Iqbal untuk mengambil jarak dari kultur awalnya. Sebaliknya, akar
budaya yang menempel pada dirinya juga memungkinkannya untuk tidak terlalu
terpesona oleh gemerlapnya dunia Barat.[7]
Sekembalinya dari Eropa, perubahan
spritual dan idiologi Iqbal makin mendalam. Periode ini menggambarkan proses perubahan
Iqbal dari Nasionalis India kepada kampium kebangsaan Muslim.[8]
Iqbal mulai membeci faham nasionalisme
yang sempit yang waktu itu menjadi sumber dari hampir semua kekacauan politik
di dunia. Sebaliknya dia mulai tertarik pada pergerakan dan perjuangan
bangsa-bangsa yang terjajah dan tertindas.
Karir politik Iqbal tidak dapat
diabaikan. Pada tahun 1927, Iqbal memasuki dunia politik dan terpilih sebagai
anggota dewan perwakilan Punjab. Dia duduk sebagai Presiden “Liga Muslim” pada
tahun 1930. Saat itulah dia mengajukan gagasan tentang pembentukan apa yang
kemudian dinamakan negara Pakistan.[9]
Selama hidupnya Iqbal telah berbuat
banyak untuk umat Islam, khususnya di India. Ia telah menjadi figur dan tokoh
yang mendunia. Namun pada April 1938, sakit yang telah lama dideritanya
bertambah parah. Iqbal sendiri merasa ajalnya telah dekat. Raja Hasan yang
berkunjung pada malam meninggalnya Iqbal, mengatakan bahwa sekitar sepuluh
menit terakhir dari hidupnya, Iqbal masih membacakan sajaknya:[10]
Melodi perpisahan
kan bergema kembali atau tidak
Angin Hijaz kan berhembus kembali atau tidak
Saat-saat hidupku
kan berakhir
Pujangga
lain kan kembali atau tidak
Kemudian ia berpesan kepada
orang-orang disekitarnya dengan sajak terakhir:
Kukatakan padamu ciri seorang Mu’min
Bila maut datang, akan merekah
senyum di bibir
Ketika fajar 21 April 1938, dalam usia
60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun dalam kalender Hijri, Iqbal
berpulang ke Rahmatullah,[11]
sebelum sempat melihat berdirinya negara Pakistan.
3. Teori dan Metode Pemikiran Iqbal
Iqbal adalah filosof Islam kontemporer
yang memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai macam pemikiran, baik
pemikiran Barat maupun pemikiran Timur, terutama filsafat Islam. Ide-ide
filsafat Iqbal mendapat pengaruh yang cukup kuat dari pemikir-pemikir Barat dan
pemikir-pemikir Islam. Gagasan pemikiran Iqbal banyak dipengaruhi oleh filsafat
Nietzse (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Bagi Iqbal, meskipun
Eropa tidak pernah menjadi contoh kehidupan yang sempurna, namun dia melihat
banyak nilai yang baik dari kehidupan Eropa, seperti adanya vitalitas yang luar
biasa dalam aktivitas kehidupan mereka. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang
disaksikannya pada masyarakat Islam India, di mana terdapat tradisi-tradisi
yang sangat kuat dan sudah tua yang membawa manusia kepada etika kepasifan,
yaitu untuk tidak mengambil kesempatan yang diberikan kepada mereka. Sebenarnya
etika tersebut tidaklah buruk, tetapi untuk masa yang sedang dihadapi adalah anakronistik, ketinggalan zaman, sebab
teknologi modern telah membawa kehidupan kepada tingkatan yang baru.[12] Atas
dasar kondisi inilah Iqbal mengajak kepada tindakan yang keras untuk mengubah
nasib masyarakat Islam India.
Berangkat dari pemikiran tersebut,
Iqbal menekankan perlunya pengembangan pribadi, sehingga dari pribadi-pribadi
yang kuat terbentuklah suatu masyarakat ideal, masyarakat yang dipenuhi dengan
ikatan rasa persaudaraan, kebaktian sosial dan kehangatan rohani.
Dengan melalui pendekatan filosofis,
Iqbal mengemukakan teori yang mendasar dalam pemikirannya bahwa hidup di dunia
adalah gerak dan berjuang, ini adalah hukum tetap dari dunia.[13]
Pertimbangan filosofis Iqbal adalah
berkaitan dengan fakta bahwa Iqbal sangat dipengaruhi oleh proses filosof abad
sembilan belas yang memikirkan ide-ide pembaharuan, kemajuan dan evolusi. Namun
dia berusaha memformulasikan suatu teori perubahan dan evolusi Islam dengan
berusaha mengambil pemikiran-pemikiran yang benar dari manapun asalnya untuk
kemudian membuat suatu sintesa. Iqbal mencoba mensintesakan pandangan para
pemikir masa lalu seperti ibnu Maskawaih dan Jalaluddin Rumi serta parapemikir
evolusioner abad sembilan belas meskipun kesuksesan ataupun upaya filosofisnya
dipertanyakan oleh beberapa sarjana muslim saat ini.[14]
3.1. Pandangan Iqbal tentang Tuhan
Pandangan Iqbal mengenai ilahiyat (ketuhanan) mengalami tiga fase
perkembangan, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman yang
dilaluinya.[15]
Fase pertama (1901-1908):
Fase pertama (1901-1908):
Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan
Abadi, keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala
sesuatu, bahkan menampakan Diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan Diri-Nya di
langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, di semua tempat dan keadaan.
Pemahaman pada fase ini sangat
dipengaruhi oleh kecenderungannya sebagai mistikus-panteistik. Hal ini terlihat
jelas pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah Persia,
lewat tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibnu Arabi. Puncak kekagumannya
terlihat jelas dari disertasi doktornya yang berjudul Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of
Muslim Philosophy. Pemikiran dan pemahaman Iqbal bahwa Tuhan sebagai
Keindahan Abadi juga dipengaruhi oleh Plotinus pikiran Plato.
Fase kedua (1908-1920):
Pada fase ini Iqbal bukan lagi
memahami Tuhan sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara
Keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan.[16] Karena
itu Tuhan menjadi menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan (the ultimate spritual basis of all life),
Tuhan menyatakan diri-Nya bukan di alam Mahsus
(terindera) tetapi dalam pribadi yang terbatas, sehingga usaha untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan
menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam
Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya, dia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya,
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya. Dan proses penyerapan ini akan
menumbuhkan ego, dan ego akan tumbuh menjadi super ego lalu dia akan naik
menjadi wali Tuhan.
Perubahan pemahaman dan keyakinan ini
terlihat dalam karyanya, Haqiqat-i Husna
(Hakikat Keindahan). Perubahan pada
fase ini karena ketertarikan Iqbal kepada Rumi, yang dianggapnya sebagai
pembimbing pribadi.
Fase ketiga (1920-1938):
Jika fase kedua dianggap sebagai masa
pertumbuhan, maka fase ketiga ini merupakan pengembangan dan menuju pematangan
konsepsi Iqbal tentang ketuhanan. Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu
keseluruhan”. Dan Hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat
spiritual, dalam arti suati individu dan suatu ego. Tegasnya, Tuhan adalah Ego
Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatupun di luar Dia. Dia
merupakan sumber dari segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego bermula,
yang menimbulkan kehidupan ini.
Menurut Iqbal, Ego mutlak yang
merupakan Ego-Tertinggi merupakan suatu Pribadi (individualistis) yang
sempurna. Ego itu harus dilukiskan sebagai suatu yang berada di atas pengaruh
antagonisme reproduksi. Untuk menjadi sempurna memerlukan suatu keadaan dimana
tak ada bagian organisme yang terlepas dapat hidup secara terpisah.
Jika Tuhan merupakan Ego dan dengan
demikian suatu individu, dapatkah kita mengaggap-Nya sebagai sesuatu yang tak
terbatas? Iqbal berpendapat: Tuhan tak dapat dianggap tak terbatas dalam arti yang
tak terbatas secara ruang. Dasar penafsiran ini adalah keadaan kita tidak
memandang alam sebagai sesuatu yang statis, yang terletak dalam suatu rongga
tak terhingga. Melainkan alam sebagai suatu struktur peristiwa-peristiwa yang
saling berhubungan. Dari hubungan itu lahir pengertian-pengertian tentang ruang
dan waktu. Jadi, ruang dan waktu matematis adalah penafsiran-penafsiran yang
dilakukan oleh pikiran terhadap aktivitas kreatif dari Ego-Absolut. Dengan
demikian, Ego Absolut bukanlah bersifat tak terhingga secara ruang, atau
terbatas dalam arti seperti ego manusia. Ketidakterbatasan Ego-Absolut terletak
di dalam kemungkinan-kemungkinan batin yang tak terbatas dari aktivitas
kreatif-Nya. Iqbal menyatakan bahwa ketidakterbatasan Tuhan adalah intensif bukan
ekstensif. Ketidakterbatasan itu melingkupi rangkaian bersambung-sambung tak
terhingga panjangnya, tetapi Ia bukanlah rangkaian-rangkaian itu sendiri.
Keindahan adalah ekspresi ego-ego
dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang
berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau
memberikan semangat hidup bagi lingkungannya.
Tidak hanya itu, Iqbal ego-ego tersebut harus mampu memberikan hal baru
dalam kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas
dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakikat
pribadi dan kebanggaan manusia di hadapan Tuhan.[17]
Tuhan adalah Kreativitas, Mengetahui,
Akbar, dan Kekal, karena itu bagaimana mungkin manusia mengingkari
keberadaan-Nya.
3.2. Pemikiran Iqbal tentang Khudi
Setting sosial dalam kehidupan Iqbal
memperlihatkan kemunduran umat Islam, dimana kaum elit dan intelektual berjiwa
hamba sahaya dan mayoritas umat Islam terjerumus dalam kebodohan dan
terbelenggu dalam keterbelakangan serta kejumudan. Hal inilah yang memunculkan konsep khudi dari Iqbal, dengan maksud untuk membangun sifat-sifat
konstruktif dan mengeliminir sifat sifat destruktif dalam diri manusia. Konsep
diri manusia dalam filsafat Iqbal berawal dari pandangannya tentang khudi, yang termaktub dalam karyanya The Secrets of the Self (Asrar-i Khudi),
terbit pertama kali tahun 1915.
Perkataan khud adalah perkataan netral yang berarti diri (self), kedirian atau individualitas. Sedangkan khudi dalam bahasa Persia berarti sifat mengagumi diri sendiri,
egoisme, sedang dalam bahasa Urdu, dalam konteks moral berarti seruan pada
hal-hal yang tidak baik. Sementara itu Iqbal memberi arti yang lain dan
menjadikannya sebagai pokok filsafatnya.[18]
Jelas sekali bahwa khudi menurut
kamus tidak ada yang positif. Tampaknya Iqbal mengalami kesulitan terminologis
untuk mencari sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan “á unique i” (sebuah aku yang unik), kreatif dan senantiasa bergerak
maju. Akhirnya perkataan Persia khudi
terpaksa digunakan, tetapi dengan memberi arti lain yang serba positif.[19] Menurut
Iqbal, Khudi merupakan suatu kesatuan
yang riil atau nyata, dan secara mantap dan tandas. Khudi merupakan pusat dan
landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia, merupakan suatu iradah
kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional menjelaskan
bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan
yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sistesis yang melingkupi serta memusatkan
kecendrungan-kecendrungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah
suatu tujuan konstruktif.
Selain itu Iqbal juga menjelaskan
bahwa Realitas Tertinggi adalah sebagai Ego, dan bahwa hanya dari Ego Tertinggi
(Ultimate Ego ) itulah ego-ego
bermula. Dunia dengan segala isinya adalah penjelmaan diri (self-revelation) dari “Aku Yang Akbar”,
dari gerakan bagian terkecil sampai kepada gerakan pikiran bebas dalam ego
manusia.
Iqbal tidak sama dengan kebanyakan
ahli pikir, baik di bidang agama maupun di bidang filsafat, yang cenderung
untuk menganggap realistas diri itu hanya sebagai bayangan atau ilusi dalam
jiwa dan tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap. Iqbal tidak sama dengan
panteisme dan pseudo mistisisme yang
berkembang baik di Timur maupun di Barat yang menganggap ego sekedar suatu
bagian dari Jiwa Abadi yang secara terus menerus berjuang untuk dapat berpadu
dengan induknya.[20] Iqbal
tidak sama dengan ajaran yang berpendapat bahwa tujuan tertinggi dan tujuan
ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan Yang
Mutlak, bagaikan setetes air yang melarut dalam samudera dan dengan demikian
menghapus habiskan kesatuan individualistis.
Pandangan semacam ini ditolak oleh
Iqbal, Ia memandang gerakan ahli pikir seperti itu menyesatkan. Lagi pula
pandangan seperti itu mempunyai implikasi sosiopolitik yang berbahaya. Iqbal
menegaskan bahwa pandangan yang melenyapkan dirinya dalam Ego Yang Abadi ini jangan dijadikan cita moral ataupun religius.
Sebaliknya, Iqbal berpendapat bahwa ego harus berjuang mempertahankan
individualistis yang sangat berharga dan memperkuatnya dengan jalan memupuk
keaslian dan kekhususannya.
Tujuan
ego bukan membebaskan diri dari batas-batas individualistis, melainkan memberi
batasan tentang dirinya dengan lebih tegas. Pencarian ego adalah pencarian
untuk mendapatkan defenisi yang lebih tepat mengenai dirinya. Tindakan ini
bukan hanya tindakan intelektual, melainkan suatu tindakan vital yang
memperdalam seluruh wujud ego, serta mempertajam kemauannya dengan keyakinan
kreatif, bahwa dirinya ini bukanlah sesuatu yang hanya melihat atau dikenal
melaui konsep demi konsep, melainkan sesuatu yang harus dibangun dan dibangun
kembali dengan kerja yang tidak putus-putusnya. Inilah saat kebahagiaan
tertinggi dan juga percobaan besar bagi ego.
Dalam ucapan Hallaj “Akulah Kebenaran
Yang Mencipta”, Iqbal menegaskan bahwa insan itu “….bukan untuk melarutkan
tetesan air ke dalam lautan, melainkan untuk mewujudkan diri dan dengan berani
mengukuhkan realitasnya serta memantapkan ego-insaninya dalam suatu pribadi
yang lebih kukuh”. Meskipun mempunyai kemampuan berhubungan dengan ego-ego
lain, tetapi kodrat ego bersifat terpusat pada dirinya sendiri, ego mempunyai
lingkungan individualitas khusus yang tidak memungkinkan ego-ego lain, Jadi ego
itu unik dan tidak sama dengan yang lain.[21]
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak
alam, Iqbal setuju dengan pendapat Whitehead yang menggambarkan alam semesta
bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan suatu struktur
peristiwa-peristiwa yang mempunyai sifat mengalir terus menerus secara kreatif.[22] Juga
Iqbal menyetujui teori relativitas Eistein dalam ilmu alam, yang berpendapat
bahwa sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan
keadaan yang bermacam-macam, tetapi merupakan suatu sistem peristiwa yang
saling berhubungan. Karena adanya saling hubungan-hubungan tersebut, kemudian
timbul konsepsi-konsepsi tentang ruang dan waktu.
4. Karya-karya Muhammad Iqbal
Dengan bekal latar belakang pendidikan
dan pengalaman ketika menuntut ilmu, baik di negaranya sendiri maupun di Eropa,
Iqbal banyak menghasilkan karya tulisan, seperti The Development of Metaphysics in Persia, merupakan sebuah
sumbangan kepada sejarah filsafat Islam yang berbentuk tesis untuk memperoleh
titel Ph.D di Universitas Munchen. The
Reconstruction of Religions Tought in Islam, buku ini sebagai respon
terhadap situasi yang tidak menyenangkan,
di mana dia berpandangan bahwa sistem pendidikan Islam sebagai sebuah model
yang tidak tepat untuk menghadapi tantangan zaman. Para ulama tidak mengajarkan
para murid tentang cara untuk menghadapi persoalan-persoalan keterbelakangan
yang jelas menjadi permasalahan nyata. Mereka cenderung mendorong para pemuda
untuk masuk ke dalam masa depan yang suram. Karenanya, dalam buku tersebut,
Iqbal menawarkan argumen-argumen baru untuk melakukan rekonstruksi dalam
pemikiran keagamaan.
Di samping menulis buku, Iqbal juga
menulis banyak puisi. Bahkan Iqbal lebih dikenal sebagai seorang penyair yang
handal. Jika buku hanya ditujukan untuk kalangan terbatas, maka puisi dapat
dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Kebanyakan puisi Iqbal bertemakan
kebangkitan Islam. Iqbal mengingatkan umat Islam, yang waktu itu di bawah
kekuasaan Barat, untuk mampu mengembalikan masa kejayaan mereka. Koleksi Iqbal Asrar al-Khudi (Rahasia Diri) berusaha
menguak kemampuan diri dalam menentukan kehidupan ini. Sementara itu, konsepnya
tentang al-insan al-kamil (manusia
utama) tampaknya juga ditujukan untuk memberikan motivasi bagi kebangkitan umat
Islam. Dalam konteks, Iqbal juga muncul sebagai seorang idiolog Muslim. Dia
tidak hanya memberikan perhatian pada pengetahuan serta puisi, tetapi juga
melalui kegiatan ilmiah dan seni, menginginkan terjadinya transformasi sosial.
Masih banyak karya-karya Iqbal, di
antara karya monumentalnya, sebagai berikut[23]:
1.
Ilm
al-Iqtisal, (1903);
2.
Development
of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy,
(1908);
3.
Islam
as a Moral and Political Ideal, (1909);
4.
Asrar-i
Khudi [Rahasia Pribadi], (1915);
5.
Rumuz-i
Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918);
6.
Payam-i
Masyriq [Pesan dari Timur], (1923);
7.
Self
in the Light of Relativity Speeches and Statements of Iqbal,
(1925);
8.
Zaboor-i
‘Ajam [Kidung Persia], (1927);
9.
Khusal
Khan Khattak, (1928);
10. A Plea for Deeper
Study of Muslim Scientist, (1929);
11. Presidential Addres
to the All-India Muslim Leaque, (1930);
12. Javid Nama [Kitab
keabadian], (1932);
13. McTaggart
Philosophy, (1932);
14.
The
Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan
kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam), (1934);
15. Letters of Iqbal to
Jinnah, (1934);
16. Bal-i Jibril
[Sayap Jibril], (1935);
17. Pas Chih Bayad Kard
Aqwam-I Sharq, (1936);
18. Matsnawi Musafir,
(1936);
19. Zarb-i Kalim [Tongkat/Pukulan
Nabi Musa], (1936); dan
20. Armughan-i Hejaz [Hadiah dari Hejaz],
(1938).
5.
Penutup
Iqbal meratapi terjadinya erosi identitas. Bagi Iqbal, identitas tidak diturunkan dari komitmen terhadap tradisi yang lapuk atau semangat nasionalis yang berapi-api tetapi dari suatu keyakinan bahwa pemahaman realitas harus berangkat dari pemahaman ekstensial tentang diri sendiri. Dalam sebuah puisinya ia mengatakan:
Tiap atom sangat mengharap kemuliaan:
Mendamba buah-Diri dari syahadat seisi bumi!
Hatimu
adalah lilinmu,
Dirimu
sendiri adalah seluruh cahaya yang kaudambakan;
Kaulah
satu-satunya kebenaran dunia ini, yang lain tidak
Ilusi
laksana sihir.
Dari
gurun memasukkan keraguan pada banyak orang:
Jangan
mengeluh bilak kaki telanjangmu berdarah.
Penalaran
dan apresiasi terhadap puisinya, apalagi puisi dilukiskan dalam bahasa
simbolik, yang merupakan bagian paling besar karyanya tentu dapat melahirkan
inspirasi baru tentang bagaimana sesungguhnya yang dimaksudkan Iqbal tentang
Tuhan dan khudi dalam filsafatnya. Semangat yang dibawa Iqbal adalah semangat
timur, yang menginginkan kaum muslim berjaya di masanya sebagaimana
diperlihatkan masa yang telah lewat. Meski Iqbal adalah hasil dari pendidikan
Barat, namun tidak lantas lebur dalam budaya Barat. Posisi Iqbal sangat
akademis-intelektual dengan mengambil bentuk kebudayaan yang sejalan dengan
nilai-nilai Islam dan dan mengkritisi yang dianggap tidak sejalan. wallahu a`lam bi al-sawab.
[1]
Akar katanya
adalah Filsafat, berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu Philosophia,
ia berasal dari dua kata, Philos dan Sophia. Philos artinya
cinta, atau Phillia yang berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan
pada, dan keterikatan pada. Sedangkan kata Sophia berarti hikmah
(Wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis dan intelegensi.
Lihat Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1995), h. 249.
Al-Syahrastani (w.1153 M )
menjelaskan, bahwa kata “Filsafat” berarti Mahabbah al-Hikmah ( Cinta
kepada kebijaksanaan ), sedangkan kata faylasuf berasal dari filasufa. Fila
berarti al-muhibb (orang yang mencintai) sedangkan sufa berarti al-hikmah
( kebijaksanaan ). Atau dapat diartikan dengan muhibb al-hikmah
(orang yang mencintai kebijaksanaan). Menurut al-Khuwarizmi (w.996 M) kata
“filsafat”,diambil dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang berarti
cinta kepada hikmah. ( wisdom ).
Para ahli berbeda dalam
merumuskan pengertian filsafat secara terminologis. Plato, yang belum sampai
kepada konsepsi adanya Tuhan menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang mencari hakekat kebenaran yang asli. Aristoteles (384-322 SM), yang lebih
menitik beratkan penyelidikannya kepada pembagian ilmu filsafat menerangkan
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mendukung kebenaran mengenai ilmu-ilmu
fisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), h. 15.
[2] H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), h. 14-16.
[3] A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana
Baru Filsafat Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004) cet. 1., h.299.
Tahun kelahiran Iqbal terjadi perdebatan. Tahun 1977 mengacu pada informasi
tentang tahun meninggalnya pada 20 April 1938, dalam usia 60 tahun. Lihat Abdul
Wahab Azzam, Filsafat & Puisi Iqbal, terj. Rafiq Usman (Bandung:
Pustaka, 1985) h. 13-16
[4] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam,
terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 13.
[5] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di
India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), h. 174.
[6] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali, h. 15.
[7] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000), h. 69.
[8] Mukti Ali, Alam Pikiran, h 177.
[9]
Mukti Ali, Alam
Pikiran, h. 182.
[10] Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad
Rofi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 39-40.
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama Jakarta, 2001), h. 184.
[12] Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 32.
[13] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali, h.15.
[14]
Osman Bakar, Islam & Dialog Peradaban; Menguji Universalisme Islam dalam
Peradaban Timur & Barat (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) cet. 1,
h. 94-95.
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 190.
[16] Mukti Fahal & Achmad Amir Aziz,
Teologi Islam Modern, (Surabaya:
Gitamedia Press, 1998), h. 109.
[17] A. Khudori, Wacana Baru, h.
305, setelah dikutip dari Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan, h. 68-70.
[18] Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan, h. 55-56.
[19] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 70-71.
[20] K.G. Saiyidan, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan (Bandung: Diponegoro,
1981), h.25.
[21] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 187.
[23] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar