Rabu, 11 November 2015

TUHAN DAN KHUDI DALAM PANDANGAN MUHAMMAD IQBAL



                                                                                         Oleh : LALU MUHAMMAD IQBAL, MA                                                                                                           Ketua Program Studi Tafsir Hadis UNW Mataram
Pengurus Ponpes Al-Hamidiyah Kediri Lombok Barat



"Tuhan menciptakan dunia, Manusia membuatnya lebih indah

Apakah manusia ditaqdirkan untuk menjadi saingan Tuhan?

Kau ciptakan malam, aku ciptakan lentera

Kau ciptakan lempung, aku ciptakan cawan

Akulah yang membuat batu menjadi cermin

Akulah yang mengubah racun menjadi obat

Kebesaran manusia terletak pada daya ciptaya

Bulan dan bintang hanya mengulang

Kewajiban yang ditetapkan  atasnya"
(Muhammad Iqbal)



1. Pengantar

Sebagian masyarakat India telah mengenal sistem keagamaan dengan berfikir secara filosofis.[1] Mereka telah terbiasa berfikir tentang Tuhan, jagad raya dan diri manusia sendiri. Sistem keagamaan India tidak memberikan batasan yang pasti dalam konsep ketuhanan. Itulah sebabnya sebagian masyarakat India biasa menempuh pemikiran spekulatif, yang cenderung untuk selalu menciptakan konsep-konsep yang berhubungan dengan Tuhan, jagad raya dan manusia.
Konsep pemikiran yang dibawa oleh filsafat India pada umumnya memberikan pengaruh dan merangsang pemikiran umat Islam. Di antara filosof Islam yang terpengaruh dengan filsafat India adalah al-Razi dengan filsafat atomnya. Begitu juga filsafat Ibn ‘Arabi sebagaimana yang tampak dalam karyanya Fusul al-Hikam.[2]Terdapat sejumlah nama pemikir- Islam yang lahir dari India, yang hal ini mungkin tidak bisa dipisahkan dari adanya tradisi berfikir filosofis di sana. Di antara mereka terdapat sosok seorang pemikir yang ulung, yang bernama Muhammad Iqbal. Dia adalah sosok pribadi yang kompleks, pemikir, politikus, sufi dan juga seorang filosof. Iqbal juga dipandang sebagai salah satu pemikir India terpenting pada masa peralihan abad ini. Namun dari sekian banyak buah pikirannya, dalam makalah ini yang menjadi perhatian adalah filsafatnya tentang Tuhan dan Khudi.

2. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot (Punjab), wilayah Pakistan (Sekarang) pada tanggal 9 November 1977 M.[3] Iqbal berasal dari keluarga terpandang da taat beragama. Ayahnya merupakan figur terpelajar dan progresif untuk ukuran masyarakat pada zamannya. Nenek moyangnya berasal dari  kasta Brahmana Kasymir yang telah memeluk agama Islam kira-kira 300 tahun sebelumnya.[4]
Iqbal menempuh pendidikan dasarnya di Murray College Sialkot, dan beruntung sekali, disini dia memiliki seorang guru ulama besar Mir Hasan yang sejak pagi-pagi benar dari kehidupannya telah memompakan air agama kedalam rongga-rongga jiwanya. Sejak di Sialkot ini pula Iqbal telah kelihatan gemar sekali mengubah syair-syair dalam bahasa Urdu. Pada tahun 1895 dia pindah ke Lahore untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi pada Government College. Di sini dia berada di bawah pengaruh Sir Thomas Arnold, pengarang The Preaching of Islam yang terkenal itu. Sarjana inilah yang mula-mula memperkenalkan Iqbal pada filsafat Barat, sehingga memperoleh gelar Master of Art (MA).
Setelah menyelesaikan studinya, Iqbal diagkat menjadi staf dosen pada perguruan tinggi pemerintah (Government College), tetapi karir sastranya selalu membayanginya pada semua aspek kerjanya.[5] Dia sangat sibuk menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah, dan segera kemasyhurannya tersiar sebagai penyair yang hebat dari Punjab.
Tahun 1905, atas nasehat Sir Arnold, Iqbal berangkat ke Inggris untuk memperdalam filsafat Barat di Trinity College Universitas Cambridge. Di samping itu ia juga rajin menghadiri kuliah-kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Dua tahun kemudian pindah ke Universitas Munich Jerman untuk sebuah penelitian dimana dia berhasil mempersembahkan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia sehingga memperoleh gelar Ph.D di bidang filsafat.[6]
Tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore dan membuka praktek sebagai pengacara disamping menjadi guru besar di bidang filsafat dan sastra Inggris pada Government College.
Selama tiga tahun di Eropa, alam pikiran Iqbal sudah meluas dan mendalam. Ini bukan semata-mata karena kuliah-kuliah dari Universitas Cambridge, tetapi juga karena kegairahannya sendiri dalam menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan yang tersembunyi dalam aneka macam buku dari perpustakaan-perpustakaan di London dan Munchen.
Pengalaman hidupnya di Barat memungkinkan Iqbal untuk mengambil jarak dari kultur awalnya. Sebaliknya, akar budaya yang menempel pada dirinya juga memungkinkannya untuk tidak terlalu terpesona oleh gemerlapnya dunia Barat.[7]
Sekembalinya dari Eropa, perubahan spritual dan idiologi Iqbal makin mendalam. Periode ini menggambarkan proses perubahan Iqbal dari Nasionalis India kepada kampium kebangsaan Muslim.[8]
Iqbal mulai membeci faham nasionalisme yang sempit yang waktu itu menjadi sumber dari hampir semua kekacauan politik di dunia. Sebaliknya dia mulai tertarik pada pergerakan dan perjuangan bangsa-bangsa yang terjajah dan tertindas.
Karir politik Iqbal tidak dapat diabaikan. Pada tahun 1927, Iqbal memasuki dunia politik dan terpilih sebagai anggota dewan perwakilan Punjab. Dia duduk sebagai Presiden “Liga Muslim” pada tahun 1930. Saat itulah dia mengajukan gagasan tentang pembentukan apa yang kemudian dinamakan negara Pakistan.[9]
Selama hidupnya Iqbal telah berbuat banyak untuk umat Islam, khususnya di India. Ia telah menjadi figur dan tokoh yang mendunia. Namun pada April 1938, sakit yang telah lama dideritanya bertambah parah. Iqbal sendiri merasa ajalnya telah dekat. Raja Hasan yang berkunjung pada malam meninggalnya Iqbal, mengatakan bahwa sekitar sepuluh menit terakhir dari hidupnya, Iqbal masih membacakan sajaknya:[10]

Melodi perpisahan kan bergema kembali atau tidak

            Angin Hijaz kan berhembus kembali atau tidak

Saat-saat hidupku kan berakhir
Pujangga lain kan kembali atau tidak

Kemudian ia berpesan kepada orang-orang disekitarnya dengan sajak terakhir:

           

Kukatakan padamu ciri seorang Mu’min

            Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir

Ketika fajar 21 April 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun dalam kalender Hijri, Iqbal berpulang ke Rahmatullah,[11] sebelum sempat melihat berdirinya negara Pakistan.

 

3. Teori dan Metode Pemikiran Iqbal

Iqbal adalah filosof Islam kontemporer yang memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai macam pemikiran, baik pemikiran Barat maupun pemikiran Timur, terutama filsafat Islam. Ide-ide filsafat Iqbal mendapat pengaruh yang cukup kuat dari pemikir-pemikir Barat dan pemikir-pemikir Islam. Gagasan pemikiran Iqbal banyak dipengaruhi oleh filsafat Nietzse (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Bagi Iqbal, meskipun Eropa tidak pernah menjadi contoh kehidupan yang sempurna, namun dia melihat banyak nilai yang baik dari kehidupan Eropa, seperti adanya vitalitas yang luar biasa dalam aktivitas kehidupan mereka. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikannya pada masyarakat Islam India, di mana terdapat tradisi-tradisi yang sangat kuat dan sudah tua yang membawa manusia kepada etika kepasifan, yaitu untuk tidak mengambil kesempatan yang diberikan kepada mereka. Sebenarnya etika tersebut tidaklah buruk, tetapi untuk masa yang sedang dihadapi adalah anakronistik, ketinggalan zaman, sebab teknologi modern telah membawa kehidupan kepada tingkatan yang baru.[12] Atas dasar kondisi inilah Iqbal mengajak kepada tindakan yang keras untuk mengubah nasib masyarakat Islam India.
Berangkat dari pemikiran tersebut, Iqbal menekankan perlunya pengembangan pribadi, sehingga dari pribadi-pribadi yang kuat terbentuklah suatu masyarakat ideal, masyarakat yang dipenuhi dengan ikatan rasa persaudaraan, kebaktian sosial dan kehangatan rohani.
Dengan melalui pendekatan filosofis, Iqbal mengemukakan teori yang mendasar dalam pemikirannya bahwa hidup di dunia adalah gerak dan berjuang, ini adalah hukum tetap dari dunia.[13]
Pertimbangan filosofis Iqbal adalah berkaitan dengan fakta bahwa Iqbal sangat dipengaruhi oleh proses filosof abad sembilan belas yang memikirkan ide-ide pembaharuan, kemajuan dan evolusi. Namun dia berusaha memformulasikan suatu teori perubahan dan evolusi Islam dengan berusaha mengambil pemikiran-pemikiran yang benar dari manapun asalnya untuk kemudian membuat suatu sintesa. Iqbal mencoba mensintesakan pandangan para pemikir masa lalu seperti ibnu Maskawaih dan Jalaluddin Rumi serta parapemikir evolusioner abad sembilan belas meskipun kesuksesan ataupun upaya filosofisnya dipertanyakan oleh beberapa sarjana muslim saat ini.[14]  
 
3.1. Pandangan Iqbal tentang Tuhan
Pandangan Iqbal mengenai ilahiyat (ketuhanan) mengalami tiga fase perkembangan, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman yang dilaluinya.[15] 

Fase pertama (1901-1908):
Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakan Diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan Diri-Nya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, di semua tempat dan keadaan.
Pemahaman pada fase ini sangat dipengaruhi oleh kecenderungannya sebagai mistikus-panteistik. Hal ini terlihat jelas pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah Persia, lewat tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibnu Arabi. Puncak kekagumannya terlihat jelas dari disertasi doktornya yang berjudul Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy. Pemikiran dan pemahaman Iqbal bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi juga dipengaruhi oleh Plotinus pikiran Plato.

Fase kedua (1908-1920):
Pada fase ini Iqbal bukan lagi memahami Tuhan sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara Keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan.[16] Karena itu Tuhan menjadi menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan (the ultimate spritual basis of all life), Tuhan menyatakan diri-Nya bukan di alam Mahsus (terindera) tetapi dalam pribadi yang terbatas, sehingga usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya, dia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya. Dan proses penyerapan ini akan menumbuhkan ego, dan ego akan tumbuh menjadi super ego lalu dia akan naik menjadi wali Tuhan.
Perubahan pemahaman dan keyakinan ini terlihat dalam karyanya, Haqiqat-i Husna (Hakikat Keindahan). Perubahan pada fase ini karena ketertarikan Iqbal kepada Rumi, yang dianggapnya sebagai pembimbing pribadi.

Fase ketiga (1920-1938):
 Jika fase kedua dianggap sebagai masa pertumbuhan, maka fase ketiga ini merupakan pengembangan dan menuju pematangan konsepsi Iqbal tentang ketuhanan. Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”. Dan Hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual, dalam arti suati individu dan suatu ego. Tegasnya, Tuhan adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatupun di luar Dia. Dia merupakan sumber dari segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego bermula, yang menimbulkan kehidupan ini.
Menurut Iqbal, Ego mutlak yang merupakan Ego-Tertinggi merupakan suatu Pribadi (individualistis) yang sempurna. Ego itu harus dilukiskan sebagai suatu yang berada di atas pengaruh antagonisme reproduksi. Untuk menjadi sempurna memerlukan suatu keadaan dimana tak ada bagian organisme yang terlepas dapat hidup secara terpisah.
Jika Tuhan merupakan Ego dan dengan demikian suatu individu, dapatkah kita mengaggap-Nya sebagai sesuatu yang tak terbatas? Iqbal berpendapat: Tuhan tak dapat dianggap tak terbatas dalam arti yang tak terbatas secara ruang. Dasar penafsiran ini adalah keadaan kita tidak memandang alam sebagai sesuatu yang statis, yang terletak dalam suatu rongga tak terhingga. Melainkan alam sebagai suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan. Dari hubungan itu lahir pengertian-pengertian tentang ruang dan waktu. Jadi, ruang dan waktu matematis adalah penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh pikiran terhadap aktivitas kreatif dari Ego-Absolut. Dengan demikian, Ego Absolut bukanlah bersifat tak terhingga secara ruang, atau terbatas dalam arti seperti ego manusia. Ketidakterbatasan Ego-Absolut terletak di dalam kemungkinan-kemungkinan batin yang tak terbatas dari aktivitas kreatif-Nya. Iqbal menyatakan bahwa ketidakterbatasan Tuhan adalah intensif bukan ekstensif. Ketidakterbatasan itu melingkupi rangkaian bersambung-sambung tak terhingga panjangnya, tetapi Ia bukanlah rangkaian-rangkaian itu sendiri.
Keindahan adalah ekspresi ego-ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya.  Tidak hanya itu, Iqbal ego-ego tersebut harus mampu memberikan hal baru dalam kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakikat pribadi dan kebanggaan manusia di hadapan Tuhan.[17]  
Tuhan adalah Kreativitas, Mengetahui, Akbar, dan Kekal, karena itu bagaimana mungkin manusia mengingkari keberadaan-Nya.      
 
3.2.  Pemikiran  Iqbal tentang Khudi
Setting sosial dalam kehidupan Iqbal memperlihatkan kemunduran umat Islam, dimana kaum elit dan intelektual berjiwa hamba sahaya dan mayoritas umat Islam terjerumus dalam kebodohan dan terbelenggu dalam keterbelakangan serta kejumudan. Hal inilah yang  memunculkan konsep khudi dari Iqbal, dengan maksud untuk membangun sifat-sifat konstruktif dan mengeliminir sifat sifat destruktif dalam diri manusia. Konsep diri manusia dalam filsafat Iqbal berawal dari pandangannya tentang khudi, yang termaktub dalam karyanya The Secrets of the Self (Asrar-i Khudi), terbit pertama kali tahun 1915.
Perkataan khud adalah perkataan netral yang berarti diri (self), kedirian atau individualitas. Sedangkan khudi dalam bahasa Persia berarti sifat mengagumi diri sendiri, egoisme, sedang dalam bahasa Urdu, dalam konteks moral berarti seruan pada hal-hal yang tidak baik. Sementara itu Iqbal memberi arti yang lain dan menjadikannya sebagai pokok filsafatnya.[18] Jelas sekali bahwa khudi menurut kamus tidak ada yang positif. Tampaknya Iqbal mengalami kesulitan terminologis untuk mencari sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan “á unique i” (sebuah aku yang unik), kreatif dan senantiasa bergerak maju. Akhirnya perkataan Persia khudi terpaksa digunakan, tetapi dengan memberi arti lain yang serba positif.[19] Menurut Iqbal, Khudi merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, dan secara mantap dan tandas. Khudi  merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sistesis yang melingkupi serta memusatkan kecendrungan-kecendrungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif.
Selain itu Iqbal juga menjelaskan bahwa Realitas Tertinggi adalah sebagai Ego, dan bahwa hanya dari Ego Tertinggi (Ultimate Ego ) itulah ego-ego bermula. Dunia dengan segala isinya adalah penjelmaan diri (self-revelation) dari “Aku Yang Akbar”, dari gerakan bagian terkecil sampai kepada gerakan pikiran bebas dalam ego manusia.
Iqbal tidak sama dengan kebanyakan ahli pikir, baik di bidang agama maupun di bidang filsafat, yang cenderung untuk menganggap realistas diri itu hanya sebagai bayangan atau ilusi dalam jiwa dan tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap. Iqbal tidak sama dengan panteisme dan pseudo mistisisme yang berkembang baik di Timur maupun di Barat yang menganggap ego sekedar suatu bagian dari Jiwa Abadi yang secara terus menerus berjuang untuk dapat berpadu dengan induknya.[20] Iqbal tidak sama dengan ajaran yang berpendapat bahwa tujuan tertinggi dan tujuan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan Yang Mutlak, bagaikan setetes air yang melarut dalam samudera dan dengan demikian menghapus habiskan kesatuan individualistis.
Pandangan semacam ini ditolak oleh Iqbal, Ia memandang gerakan ahli pikir seperti itu menyesatkan. Lagi pula pandangan seperti itu mempunyai implikasi sosiopolitik yang berbahaya. Iqbal menegaskan bahwa pandangan yang melenyapkan dirinya dalam Ego Yang Abadi ini jangan dijadikan cita moral ataupun religius. Sebaliknya, Iqbal berpendapat bahwa ego harus berjuang mempertahankan individualistis yang sangat berharga dan memperkuatnya dengan jalan memupuk keaslian dan kekhususannya.
Tujuan ego bukan membebaskan diri dari batas-batas individualistis, melainkan memberi batasan tentang dirinya dengan lebih tegas. Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan defenisi yang lebih tepat mengenai dirinya. Tindakan ini bukan hanya tindakan intelektual, melainkan suatu tindakan vital yang memperdalam seluruh wujud ego, serta mempertajam kemauannya dengan keyakinan kreatif, bahwa dirinya ini bukanlah sesuatu yang hanya melihat atau dikenal melaui konsep demi konsep, melainkan sesuatu yang harus dibangun dan dibangun kembali dengan kerja yang tidak putus-putusnya. Inilah saat kebahagiaan tertinggi dan juga percobaan besar bagi ego.
Dalam ucapan Hallaj “Akulah Kebenaran Yang Mencipta”, Iqbal menegaskan bahwa insan itu “….bukan untuk melarutkan tetesan air ke dalam lautan, melainkan untuk mewujudkan diri dan dengan berani mengukuhkan realitasnya serta memantapkan ego-insaninya dalam suatu pribadi yang lebih kukuh”. Meskipun mempunyai kemampuan berhubungan dengan ego-ego lain, tetapi kodrat ego bersifat terpusat pada dirinya sendiri, ego mempunyai lingkungan individualitas khusus yang tidak memungkinkan ego-ego lain, Jadi ego itu unik dan tidak sama dengan yang lain.[21]  
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam, Iqbal setuju dengan pendapat Whitehead yang menggambarkan alam semesta bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa yang mempunyai sifat mengalir terus menerus secara kreatif.[22] Juga Iqbal menyetujui teori relativitas Eistein dalam ilmu alam, yang berpendapat bahwa sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam, tetapi merupakan suatu sistem peristiwa yang saling berhubungan. Karena adanya saling hubungan-hubungan tersebut, kemudian timbul konsepsi-konsepsi tentang ruang dan waktu.

 

4.      Karya-karya Muhammad Iqbal

Dengan bekal latar belakang pendidikan dan pengalaman ketika menuntut ilmu, baik di negaranya sendiri maupun di Eropa, Iqbal banyak menghasilkan karya tulisan, seperti The Development of Metaphysics in Persia, merupakan sebuah sumbangan kepada sejarah filsafat Islam yang berbentuk tesis untuk memperoleh titel Ph.D di Universitas Munchen. The Reconstruction of Religions Tought in Islam, buku ini sebagai respon terhadap situasi yang tidak menyenangkan, di mana dia berpandangan bahwa sistem pendidikan Islam sebagai sebuah model yang tidak tepat untuk menghadapi tantangan zaman. Para ulama tidak mengajarkan para murid tentang cara untuk menghadapi persoalan-persoalan keterbelakangan yang jelas menjadi permasalahan nyata. Mereka cenderung mendorong para pemuda untuk masuk ke dalam masa depan yang suram. Karenanya, dalam buku tersebut, Iqbal menawarkan argumen-argumen baru untuk melakukan rekonstruksi dalam pemikiran keagamaan.
Di samping menulis buku, Iqbal juga menulis banyak puisi. Bahkan Iqbal lebih dikenal sebagai seorang penyair yang handal. Jika buku hanya ditujukan untuk kalangan terbatas, maka puisi dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Kebanyakan puisi Iqbal bertemakan kebangkitan Islam. Iqbal mengingatkan umat Islam, yang waktu itu di bawah kekuasaan Barat, untuk mampu mengembalikan masa kejayaan mereka. Koleksi Iqbal Asrar al-Khudi (Rahasia Diri) berusaha menguak kemampuan diri dalam menentukan kehidupan ini. Sementara itu, konsepnya tentang al-insan al-kamil (manusia utama) tampaknya juga ditujukan untuk memberikan motivasi bagi kebangkitan umat Islam. Dalam konteks, Iqbal juga muncul sebagai seorang idiolog Muslim. Dia tidak hanya memberikan perhatian pada pengetahuan serta puisi, tetapi juga melalui kegiatan ilmiah dan seni, menginginkan terjadinya transformasi sosial.
Masih banyak karya-karya Iqbal, di antara karya monumentalnya, sebagai berikut[23]:
1.             Ilm al-Iqtisal, (1903);
2.             Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy, (1908);
3.      Islam as a Moral and Political Ideal, (1909);
4.      Asrar-i Khudi [Rahasia Pribadi], (1915);
5.      Rumuz-i Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918);
6.      Payam-i Masyriq [Pesan dari Timur], (1923);
7.      Self in the Light of Relativity Speeches and Statements of Iqbal, (1925);
8.      Zaboor-i ‘Ajam [Kidung Persia], (1927);
9.      Khusal Khan Khattak, (1928);
10.  A Plea for Deeper Study of Muslim Scientist, (1929);
11.  Presidential Addres to the All-India Muslim Leaque, (1930);
12.  Javid Nama [Kitab keabadian], (1932);
13.  McTaggart Philosophy, (1932);
14.         The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam), (1934);
15.  Letters of Iqbal to Jinnah, (1934);
16.  Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935);
17.  Pas Chih Bayad Kard Aqwam-I Sharq, (1936);
18.  Matsnawi Musafir, (1936);
19.  Zarb-i Kalim [Tongkat/Pukulan Nabi Musa], (1936); dan
20.     Armughan-i Hejaz [Hadiah dari Hejaz], (1938).


5. Penutup
             
Iqbal meratapi terjadinya erosi identitas. Bagi Iqbal, identitas tidak diturunkan dari komitmen terhadap tradisi yang lapuk atau semangat nasionalis yang berapi-api tetapi dari suatu keyakinan bahwa pemahaman realitas harus berangkat dari pemahaman ekstensial tentang diri sendiri. Dalam sebuah puisinya ia mengatakan:
             
            Tiap atom sangat mengharap kemuliaan:

          Mendamba buah-Diri dari syahadat seisi bumi!

Hatimu adalah lilinmu,
Dirimu sendiri adalah seluruh cahaya yang kaudambakan;
Kaulah satu-satunya kebenaran dunia ini, yang lain tidak
Ilusi laksana sihir.
Dari gurun memasukkan keraguan pada banyak orang:
Jangan mengeluh bilak kaki telanjangmu berdarah.
Penalaran dan apresiasi terhadap puisinya, apalagi puisi dilukiskan dalam bahasa simbolik, yang merupakan bagian paling besar karyanya tentu dapat melahirkan inspirasi baru tentang bagaimana sesungguhnya yang dimaksudkan Iqbal tentang Tuhan dan khudi dalam filsafatnya. Semangat yang dibawa Iqbal adalah semangat timur, yang menginginkan kaum muslim berjaya di masanya sebagaimana diperlihatkan masa yang telah lewat. Meski Iqbal adalah hasil dari pendidikan Barat, namun tidak lantas lebur dalam budaya Barat. Posisi Iqbal sangat akademis-intelektual dengan mengambil bentuk kebudayaan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam dan dan mengkritisi yang dianggap tidak sejalan. wallahu a`lam bi al-sawab.




[1] Akar katanya adalah Filsafat, berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu Philosophia, ia berasal dari dua kata, Philos dan Sophia. Philos artinya cinta, atau Phillia yang berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, dan keterikatan pada. Sedangkan kata Sophia berarti hikmah (Wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis dan intelegensi. Lihat Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), h. 249.

                Al-Syahrastani (w.1153 M ) menjelaskan, bahwa kata “Filsafat” berarti Mahabbah al-Hikmah ( Cinta kepada kebijaksanaan ), sedangkan kata faylasuf  berasal dari filasufa. Fila berarti al-muhibb (orang yang mencintai) sedangkan sufa berarti al-hikmah ( kebijaksanaan ). Atau dapat diartikan dengan muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Menurut al-Khuwarizmi (w.996 M) kata “filsafat”,diambil dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang berarti cinta kepada hikmah. ( wisdom ).

                Para ahli berbeda dalam merumuskan pengertian filsafat secara terminologis. Plato, yang belum sampai kepada konsepsi adanya Tuhan menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mencari hakekat kebenaran yang asli. Aristoteles (384-322 SM), yang lebih menitik beratkan penyelidikannya kepada pembagian ilmu filsafat menerangkan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mendukung kebenaran mengenai ilmu-ilmu fisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 15.  

[2] H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 14-16.

[3] A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004) cet. 1., h.299. Tahun kelahiran Iqbal terjadi perdebatan. Tahun 1977 mengacu pada informasi tentang tahun meninggalnya pada 20 April 1938, dalam usia 60 tahun. Lihat Abdul Wahab Azzam, Filsafat & Puisi Iqbal, terj. Rafiq Usman (Bandung: Pustaka, 1985) h. 13-16 



[4] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),  h. 13.

[5] Mukti Ali, Alam Pikiran  Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), h. 174.

[6] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali, h. 15.

[7] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000), h. 69.

[8] Mukti Ali,  Alam Pikiran, h 177.

[9] Mukti Ali,  Alam Pikiran, h. 182.

[10] Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 39-40.



[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2001), h. 184.

[12] Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 32.

[13] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali, h.15.

[14] Osman Bakar, Islam & Dialog Peradaban; Menguji Universalisme Islam dalam Peradaban Timur & Barat (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) cet. 1, h. 94-95. 

[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 190.

[16] Mukti Fahal & Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern, (Surabaya: Gitamedia Press, 1998), h. 109.

[17] A. Khudori, Wacana Baru, h. 305, setelah dikutip dari Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan, h. 68-70.

[18] Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan, h. 55-56.

[19] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 70-71.

[20] K.G. Saiyidan, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan (Bandung: Diponegoro, 1981), h.25.



[21] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 187.



[23] Hasyimsyah Nasution, Filsafat, h. 188.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar