I. PENDAHULUAN
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting
dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di
Indonesia, serta besarnya jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan
lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan
bangsa di bidang pendidikan dan moral. Perbaikan-perbaikan yang secara
terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik dari segi manajemen,
akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari
kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa
pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena
keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode,
dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena
keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat
Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi
basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap
kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang
jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya,
pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut
adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan
kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara
itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi
penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat
pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara
umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok
pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.
Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan
nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga
berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren
tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam
pengetahuan keislamannya. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada
masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan
pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan
karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi
yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya
pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal
tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren
pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia.
Pesantren yang paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur.
Tegalsari didirikan pada akhir abad ke-18, walaupun sebetulnya
pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19.
Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa
sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya, ada
indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad
ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas
signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak
dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.
Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh
masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain
pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan
Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori
dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkan
misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono
Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad
Ripangi Kalisalak (1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang
tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar
dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984)
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke
Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam,
pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren
menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini
kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak
pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Kemendiknas dengan
menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata
pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam
yang melaksanakan kurikulum Kemendiknas ini kebanyakan di Madrasah.
Seiring dengan keinginan dan niat yang luhur dalam membina dan
mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara
terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun
terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan
yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan
eksistensi dirinya secara berkelanjutan.
II. PEMBAHASAN
A. Dinamika Pesantren
Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang
mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri
mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung
pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa Sansekerta
yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia.
Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti
orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk
membina manusia menjadi orang baik (Abdullah, 1983:328)
Sementara itu HA Timur Jailani (1982:51) memberikan batasan pesantren
adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah
pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau
santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri
mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk
(dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan
tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau Jawa lebih mirip dengan
pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang
dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi
santri.
Selanjutnya Zamaksyari Dhofir (1982:18) memberikan batasan tentang
pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut
pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal
dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan
pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran
an yang berarti tempat tinggal para santri. Secara umum pesantren
memiliki komponen-komponen kiai, santri, masjid, pondok dan kitab
kuning.
Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, eksistensinya
telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah
pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama
Islam (tafaqquh fiddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh
masyarakat, muballigh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Hingga kini pondok pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya
dengan baik, bahkan sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya
sebagai pusat pengembangan masyarakat. (Depag RI, 2003a:1)
Secara fisik, sebuah pesantren biasanya terdiri dari unsur-unsur
berikut: di pusatnya ada sebuah masjid atau langgar, surau yang
dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai (dengan serambi tamu, ruang
depan, kamar tamu), asrama untuk pelajar (santri) serta
ruangan-ruangan belajar. Pesantren sering berada di perbatasan pedesaan
dan terpisah, dibatasi dengan pagar. Mereka kebanyakan menguasai lahan
per-tanian sendiri, yang sering dihibahkan oleh penduduk desa untuk
tujuan-tujuan agama. Kesenjangan dalam tingkat keanekaragaman organisasi
amat besar dan dapat ditunjukkan berdasarkan komponen-komponen
pranata-pranatanya yang membentuk pesantren. Dari sini terjadi
kristalisasi jenis-jenis yang nyata dari organisasi pesantren sebagai
berikut:
- Jenis A: yaitu pesantren yang paling sederhana.
- Jenis B: yaitu memiliki semua komponen pondok pesantren yang “klasik”.
- Jenis C: yaitu bentuk klasik yang diperluas dengan suatu madrasah.
- Jenis D: yaitu bentuk klasik yang diperluas dengan suatu madrasah ditambah dengan program tambahan seperti ketrampilan.
- Jenis E: yaitu pesantren modern yakni di samping sektor pendidikan ke-Islaman klasik juga mencakup semua tingkat sekolah formal dari Sekolah Dasar (Madrasah Ibtidaiyah) sampai tingkat Perguruan Tinggi. Pararel dengannya diselenggarakan juga program pendidikan ketrampilan. Usaha-usaha pertanian dan kerajinan lainnya termasuk di dalamnya. Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama, pesantren mengambil pra-karsa dan mengarahkan kelompok-kelompok swadaya di lingkungannya. (Manfred Ziemek:1986)
Pembagian jenis yang disebut di atas memberikan suatu gambaran
singkat tentang tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum
komponen suatu pesantren.
Sedangkan menurut penulis, ada lima klasifikasi, yaitu:
- Pondok Pesantren Salaf/Klasik: yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf(weton dan sorogan), dan sistem klasikal (madrasah) salaf.
- Pondok Pesantren Semi Berkembang: yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.
- Pondok Pesantren Berkembang: yaitu pondok pesantren seperti semi berkembang, hanya saja sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Di samping itu juga diselenggarakan madrasah SKB Tiga Menteri dengan penambahan diniyah.
- Pondok Pesantren Khalaf/Modern: yaitu seperti bentuk pondok pesantren berkembang, hanya saja sudah lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, antara lain diselenggarakannya sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhasus (bahasa Arab dan Inggris).
- Pondok Pesantren Ideal: yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren modern hanya saja lembaga pen-didikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang ketrampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan, dan benar-benar memperhatikan kualitasnya dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat/perkembangan zaman. Dengan adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardli.
Pondok pesantren yang ideal adalah pondok pesantren yang mampu
mengantisipasi adanya pendapat yang mengatakan bahwa alumni pondok
pesantren tidak berkualitas. Oleh sebab itu, sasaran utama yang
diperbaharui adalah mental, yakni mental manusia dibangun hendaknya
diganti dengan mental membangun. (H.A. Mukti Ali, 1971:19)
Dalam menghadapi era globalisasi dan informasi pondok pesantren perlu
meningkatkan peranannya karena Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. sebagai agama yang berlaku seantero dunia sepanjang masa. Ini
berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk
semua. (surat al-Hujurat:13) kunci dari ayat di atas yakni setiap
persaingan yang keluar sebagai pemenang adalah yang berkualitas, yaitu
memiliki iman-takwa, kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan
ketrampilan (Rahim, 2001:160). Disinilah peran pondok pesantren perlu
ditingkatkan, tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari. Maka salah
satu langkah bijak, kalau tidak mau dalam persaingan, adalah
mempersiapkan pondok pesantren agar “tidak ketinggalan kereta”.
Azyumardi Azra (2000:48) mengatakan dengan demikian, keunggulan SDM
yang ingin dicapai pondok pesantren adalah terwujudnya generasi muda
yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek
afektif dan psikomotorik. Dalam kerangka ini, SDM yang dihasilkan
pondok pesantren diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif keilmuan
yang lebih integratif dan komprehensif antara bidang ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu keduniaan tetapi juga memiliki kemampuan teoritis dan praktis
tertentu yang diperlukan dalam masa industri dan pasca industri.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mulyasa (2002:vi) mengatakan bahwa
peserta didik (santri) harus dibekali dengan berbagai kemampuan sesuai
dengan tuntutan zaman dan reformasi yang sedang bergulir, guna menjawab
tantangan globalisasi, berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan
kesejahteraan sosial, lentur, dan adaptif terhadap berbagai perubahan.
Permasalahan seputar pengembangan model pendidikan pondok pesantren
dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human resources)
merupakan isu aktual. Dalam bidang pendidikan, misalnya, pesantren
dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model pendidikan
kompetitif yang mampu melahirkan out put (santri) yang memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu sekaligus skill
sehingga dapat menjadi bekal terjun kedalam kehidupan sosial yang terus
mengalami percepatan perubahan akibat modernisasi yang ditopang
kecanggihan sains dan teknologi. Kegagalan pendidikan pesantren dalam
melahirkan sumberdaya santri yang memiliki kecakapan dalam bidang
ilmu-ilmu keislaman dan penguasaan teknologi secara sinergis
berimplikasi terhadap kemacetan potensi pesantren kapasitasnya sebagai
salah satu agents of social change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi sosial bangsa. (Masyhud, 2003: 17).
Pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan
menakjubkan, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran
kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen agama menyebutkan pada
1977 jumlah pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri
sekitar 677.394 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan berarti pada
tahun 1985, di mana pesantren berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah
santri sekitar 1.084.801 orang. Dua dasawarsa kemudian 1997, Depag
mencatat jumlah pesantren sudah mencapai kenaikan mencapai 224% atau
9.388 buah dan kenaikan jumlah santri mencapai 261% atau 1.770.768
orang. Data terakhir Depag tahun 2001 menunjukan jumlah pesantren
seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak
2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi pesantren salafiyah, tradisional
sampai modern. (Masyhud, 2003: 4)
Sejalan dengan kecenderungan deregulasi di bidang pendidikan,
penyeretan pendidikan juga di arahkan kepada pesantren. Jika pada masa
lalu (orde baru) tidak ada satupun pendidikan pesantren yang mendapatkan
status (sertifikasi), saat ini sudah dua pesantren yang telah
mendapatkan (disamakan dengan pendidikan umum), yakni pesantren Gontor
(Ponorogo), dan pesantren Al-Amin (Madura). Sedangkan pesantren tipe
ketiga atau dikenal dengan “Pesantren Salafiyah” telah memperoleh
penyetaraan melalui SKB dua menteri (Menag dan Mendiknas) No.
1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret 2000. SKB ini
memberikan kesempatan kepada pesantren salafiyah untuk ikut
menyelengarakan pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan
program wajib belajar,dengan persyaratan penambahan mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA dalam kurikulumnya. SKB memiliki
implikasi yang sangat besar, karena dengan demikian eksistensi
pendidikan pesantren tipe ketiga tetap terjaga, dan bahkan dapat
memenuhi ketentuan sebagai pelaksana wajib belajar pendidikan dasar.
Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai modal sosial dan
bahkan soko guru bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia.
Karena pendidikan pesantren yang berkembang sampai saat ini dengan
berbagai ragam modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan
kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Maka dari
itu, sudah sewajarnya apabila perkembangan dan pengembangan pendidikan
pesantren akan memperkuat karakter sosial sistem pendidikan nasional
yang turut membantu melahirkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang
memiliki kehandalan penguasaan pengetahuan dan kecakapan teknologi yang
senantiasa dijiwai nilai-nilai luhur keagamaan. Pada akhirnya, sumber
daya manusia yang dilahirkan dari pendidikan pesantren ini secara ideal
dan praktis dapat berperan dalam setiap proses perubahan sosial menuju
terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang paripurna. (Masyhud,
2003:9)
Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali
menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan
kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial.
Terlebih lagi otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah dalam
mengatur rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya
daerah tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat yang cukup
besar. Keberadaan pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi
pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di
daerah sebagai basis bagi pelaksanaan Transformasi sosial melalui
penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah.
Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi mensyaratkan
daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya
sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan.
Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumber daya
manusia yang berkualitas mensyaratkan pesantren harus meningkatkan mutu
sekaligus memperbaruhi model pendidikannya. Sebab, model pendidikan
pesantren yang mendasarkan diri pada sistem konvensional atau klasik
tidak akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia
yang memiliki kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan
agama, pengetahuan umum dan kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen
ini merupakan prasyarat yang tidak bias diabaikan untuk konteks
perubahan social akibat modernisasi. Seperti sekilas diungkapkan dalam
latar belakang masalah, tanpaknya tipe ideal model pendidikan pondok
pesantren yang dapat dikembangkan saat sekarang ini adalah tipe
integrasi antara sistem pendidik klasik dan sistem pendidikan modern.
Pengembangan tipe ideal ini tidak akan merubah total wajah dan keunikan
sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum yang
cenderung reduksionistik terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
sitem pendidikan pondok pesantren.
B. Tantangan Pembaharuan Pesantren
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman
modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami
pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin
mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu
besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga,
fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi,
penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20
atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun.
Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa sebagian besar pendidikan pesantren
di Indonesia belum terstandarisasi secara kurikulum dan tidak
terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik.
Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk
menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama
Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan
kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan
juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin
memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa
tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Dalam zaman yang ditandai dengan cepatnya perubahan di semua sektor
dewasa ini, pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak
tertatih-tatih, kalau tidak malah kehilangan kreativitas, dalam
merespon perkem-bangan zaman. Beberapa pesantren yang ada pada saat ini,
masih kaku (rigid) mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya sophisticated
dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu institusi
pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan
kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Kenapa ini bisa
terjadi?
Pertama, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola
dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada
satu orang Kiai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang
unik. Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kiai. Maka dalam
perkembangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini
tak pelak mengimplikasikan sistem manajemen yang otoritarianistik.
Pembaruan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat
(ber/ter)-gantung pada sikap sang kiai. Pola seperti ini pun akan
berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren di masa depan.
Banyak pesantren yang sebelumnya populer, tiba-tiba “hilang” begitu saja
karena sang kiai meninggal dunia.
Kedua, kelemahan di bidang metodologi. Telah umum diketahui bahwa
pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi keilmuan
klasik. Namun karena kurang adanya improvisasi metodologi, proses
transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Dikatakan oleh
Martin van Bruinessen, ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang
sudah bulat dan tidak dapat ditambah. Jadi, proses transmisi itu
merupakan penerimaan secara taken for granted. Muhammad Tholhah
Hasan, mantan Menteri Agama dan salah seorang intelektual Muslim dari
kalangan pesantren NU, pernah mengkritik bahwa tradisi pengajaran yang
mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah fiqih (fiqh oriented), sehingga penerapan fiqih menjadi teralienasi dengan realitas sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer.
Ketiga, terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan
mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah realitas sosial yang
sekarang ini mengalami perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks
perubahan ini, pesantren menghadapi dilema antara keharusan
mempertahankan jati dirinya dan kebutuhan menyerap budaya baru yang
datang dari luar pesantren. Kalau oleh MM. Billah pesantren diberi ciri
kontekstual, yaitu ciri-ciri lingkungan sekitar (sosial dan fisik) di
mana pesantren berada, yang tersadap oleh dan memberi warna pada
ciri-ciri pesantren, maka kini ciri kontekstual tersebut terjadi
pemekaran, yang juga sudah mulai merambah ke desa. Pesantren dituntut
melakukan reorientasi terhadap peran pendidikan, keagamaan, dan
sosialnya. Kalau “tempo doeloe” ketika struktur komunal desa masih
bertahan, hubungan pesantren dengan masyarakat tampak begitu
interaktif. Bahkan, pesantren dapat memerankan dirinya sebagai cultural broker,
meminjam istilah Clifford Geertz. Bagaimana sekarang? Agaknya sudah
menjadi fenomena umum, bahwa sebagian besar pesantren hanya kebagian
peran melakukan konservasi atau cagar budaya.
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena
pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus
dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah
menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia
pesantren.
Terdapat beberapa tantangan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
- Image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
- Sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
- Sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
- Aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
- Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
- Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
- Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006)
Mengutip Said Agil Siradj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren, yaitu:
- Tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
- Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
- Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip
pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah,
yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan
mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan
dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip
yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang
efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat
manusia (al musawah bain al nas).
Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren
yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya.
Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam
sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan
bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada
pesantren atau sekolah Islam yang sesuai. Karena itu, pesantren
seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut,
- Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues);
- Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial;
- Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).
Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu
melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus
mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu
memainkan peranan sebagai agent of change.
C. Format Pesantren Masa Depan
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata
dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren
memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan
masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri
dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua
komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai
historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus
terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang
dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan
manusia yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung
jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius
dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan
peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah
strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara.
Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi)
moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus
inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi
hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada
pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu,
pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan
Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai
pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok
pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid,
rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel
kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pondok pesantren”
yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan
keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat,
dan negara.
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang
dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis
pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya.
Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan
bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir
(modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif
Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ‘ora iso ngaji’.
Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan
zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.
Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari
Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya
dengan pengajian tambahan, kegiatan ekstra seperti kursus komputer,
bahasa Inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk
mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan
sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan
lahirlah ustadz-ustadz, ulama dan fuqoha yang mumpuni.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di
Indonesia yakni (a) munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat
dasar hingga menengah); (b) penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering
disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school
adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari
pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan
agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam
anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan
teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa
untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa
mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari
mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru.
Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi,
mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan
yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah
pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup
tua.
Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika
kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal
tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan
mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school
adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu
konsekuensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi
serta cara pandang religiusitas masyarakat.
- Lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.
- Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
- Cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya.
Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak
didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di
lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang
relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen
dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang
paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu
anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai
layanan dan fasilitas.
Dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan
pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani,
intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang
tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara
iman dan amal soleh.
Nampaknya, konsep Islamic boarding school menjadi alternatif
pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang.
Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan
konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga
pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
III. PENUTUP
Prinsip pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah,
yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan
mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan
dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip
yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang
efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat
manusia (al musawah bain al nas).
Pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri
dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah
dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan
yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi
berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya
akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi
sekarang ini, lulusannya ‘ora iso ngaji’. Maka, idealnya pesantren ke
depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan
tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Nampaknya, konsep Islamic boarding school
sebagai telah dijelaskan di atas dapat menjadi alternatif pilihan
sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah
diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep
pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan
yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
Keberadaan pesantren merupakan patner yang ideal bagi institusi
pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di
daerah sebagai basis bagi pelaksanaan Transformasi sosial melalui
penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul
karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi
mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan
masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat
dioptimalkan.Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan
sumber daya manusia yang berkualitas mensyaratkan pesantren harus
meningkatkan mutu sekaligus memperbaruhi model pendidikannya. Sebab,
model pendidikan pesantren yang mendasarkan diri pada sistem
konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup membantu dalam
penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi integratif baik
dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan kecakapan
teknologis.
REFERENSI
Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos
Geertz, Clifort, 1982. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Ghazali, M. Bahri. 2003. Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti
Hadi, Sutrisno. 1991. Analisis Butir untuk Instrumen Angket, Tes dan Skla Nilai, Yogyakarta: Andi Offset
Hasbullah. 1999a. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja GrafindoPersada
Hasbullah. 1999b. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Irianto, Jusuf. 2001a. Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan, Surabaya: Insan Cendekia.
Jailani, A Timur, 1983, Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, dan Pengembangan Perguruan Agama, Jakarta: Darmaga
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS
Mastuki dan El-Saha, M. Ishom (eds). 2003. Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka
Mukti Ali, HA. 1986. “Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS
Mastuhu, 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Masyhud, H. M.Sulthon dan Moh. Khusnurdilo, 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka
Majid, Nurcholis. 1989. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Dawam Raharjo. (ed). Pergaulan Dunia Pesantren. Jakarta: P3M.
Mas’ud, Abdurrachman. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mulyasa. E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Raharjo,
Saleh, Abdurrochman.1988. Pedoman Pembinan Pondok Pesantren. Jakarta: Proyek Pembinaan Bantuan Kepada Pondok Pesantren Ditjen Binbaga Islam Depag RI.
Sudradjad. 2000. Kiat Mengentaskan Pengangguran Melalui Wirausaha. Jakarta: Sinar Grafika.
Wachid, Abdurrochman. 1988. Pesantren Sebagai Subkultur (dalam Pesantren dan Perubahan)., Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abbdurrahman. 1978. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bakti
Zamakhsyari, Dhofier. 1990. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Zaimek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M
di kutip dari :https://syukririfai.wordpress.com/2012/12/16/pembaharuan-pendidikan-pesantren/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar